Dunia yang Sempit dan Makan Siang
Jeanath adalah salah satu dari sedikit siswa yang tak tertarik dengan program bedah kampus. Setelah ditarik paksa oleh Chloe untuk mengikuti rangkaian acara mengelilingi sebuah kampus yang terletak di Jatinangor, akhirnya sosok itu dengan ogah-ogahan berjalan bersama rombongan kelas. Merasa ada tak menemukan hal yang menarik perhatian, Jeanath memainkan ponsel. Sebuah pesan dari Jovan membuat ia menciptakan dunianya sendiri sampai tak sadar bahwa dirinya telah terpisah. Tertinggal di belakang tanpa ada yang menyadari absensinya.
Hingga sebuah batu mengalihkan perhatiannya, dan ia hampir jatuh terjerembab.
“Yaelah ngagetin,” monolog Jeanath.
Kepala yang menunduk itu kini terangkat. Netranya melihat ke depan dan memandang sekitar.
Ini dimana?
Diselimuti rasa panik, Jeanath kembali membuka ponselnya. Mengabari Chloe terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menghubungi Jaziel. Sesekali ia mengedarkan pandangan seraya menggigit bibir bagian dalam, eksistensi orang-orang di sekitar membuatnya gugup. Mungkin efek dari seragam sekolah yang ia kenakan. Siapapun bisa menebak jika dirinya adalah seorang murid SMA di tengah-tengah hiruk pikuk mahasiswa.
“Nyari apa?” tanya seorang laki-laki yang kemungkinan besar merupakan salah satu mahasiswa di kampus ini. Ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Jeanath.
Tersentak kaget atas sebuah suara yang menginterupsi, mata Jeanath melebar. Ia berdeham seraya kembali mengatur ekspresi. Berusaha terlihat sekeren mungkin walaupun sebenarnya ia agak takut.
“Gak nyari apa-apa. Lagi nunggu temen,” dusta Jeanath dengan dagu yang sedikit terangkat.
Laki-laki itu mengangguk paham. “Oh, gitu,” katanya dan bersiap untuk melanjutkan perjalanannya.
Jeanath ikut mengangguk, masih berusaha mengontrol gurat di wajah. Tak acuh dengan sosok yang pergi menjauh sebelum firasatnya memburuk. Hanya berselang sedetik, sebelum perutnya berteriak protes meminta makan.
Ia tengah keroncongan.
Jam makan siang telah tiba dan perut Jeanath sedang heboh berdemo. Demi kepentingan sang perut, Jeanath, menelan bulat-bulat rasa malunya. Membalikkan badan, sebelum berteriak memanggil sosok yang tengah berjalan.
“Kak!” teriak Jeanath lantang, berusaha agar terdengar sejelas mungkin.
Si mahasiswa tadi menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Gue?” tanyanya memastikan dengan telunjuk yang mengarah ke dirinya sendiri.
“Iya.” Jeanath menjawab seraya berlari kecil menghampiri sosok tersebut.
“Mau nanya, ada kantin gak di sekitar sini?” tanya Jeanath.
“Ada lah. Ya kali gak ada kantin,” jawabnya. “Lo mau ke sana? Katanya nunggu temen?”
“Hah, oh, ya. Nunggunya sekalian sambil makan. Dari sini gue harus kemana? Boleh ditunjukin gak? Soalnya gue agak buta arah, tapi gak buta arah juga kok. Maksudnya suka bingung.” Entah ada berapa kebohongan dalam kalimat yang terlontar dari mulut Jeanath.
“Halah, ayo gue anter aja. Ntar makin nyasar lagi lo. Gak jauh dari sini kok, jalan dikit doang.” Karena kebetulan, mahasiswa ini memang mau ke sana.
Setelah adanya persetujuan dari Jeanath, mereka berdua berjalan ke kantin terdekat, yakni kantin fakultas ilmu komunikasi.
Bak anak bebek yang tengah membuntuti sang induk, Jeanath mengikuti mahasiswa yang mengantarnya untuk memesan makanan. Setelah itu, mereka kembali berjalan, lalu duduk di salah satu kursi kantin.
Keheningan menyelimuti keduanya. Jeanath tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dipikirannya saat ini hanyalah mengisi perut kosongnya dan menghubungi Jaziel yang sempat ia tinggal. Ngomong-ngomong tentang Jaziel, sosok itu mungkin tengah panik karena ditinggal oleh Jeanath tanpa kabar. Bersamaan dengan makanan yang datang, Jeanath mengambil ponsel dalam saku celananya.
Melirik sekilas sosok di depannya yang tengah sibuk mengobrol dengan orang lain, lalu melahap makanannya tanpa mewarkan terlebih dahulu.
Antara terlalu lapar atau takut mengganggu, mungkin kombinasi dari keduanya.
Di tengah aktivitas makannya, Jeanath menatap layar ponsel yang menyala. Ia mematikan panggilan Jaziel dan memberikan sebuah pesan singkat. Setidaknya cukup untuk membuat Jaziel lebih lega.
Jeanath lagi-lagi melirik si mahasiswa yang telah mengantarnya. Menimang apakah ia harus berterus terang jika sebenarnya ia terpisah dari rombongan kelas.
“Kak,” panggil Jeanath pelan.
Teman ngobrol mahasiswa tadi sudah pergi, meninggalkan mereka berdua. “Apa?”
“Sebenernya gue lagi kesasar, ini tuh di mana ya? Kakaknya mahasiswa di sini? Jurusan apa?” Jeanath mencecar mahasiswa tersebut dengan pertanyaan.
“Yeee, bener kan lo kesasar?” Mahasiswa itu meledek. “Iya, gue mahasiswa di sini. Jurusannya tebak dong. Gak seru kalo langsung gue kasih tau.”
Wajah Jeanath sedikit tertekuk ketika mendengar ledekan yang dituju untuknya.
“Jurusan pertanian ya? Atau perikanan soalnya gue suka ikan,” jawab Jeanath asal.
“Yah salah, hahaha. Gue anak ilmu komunikasi. Temen lo yang lagi ditunggu itu suruh ke sini aja, kantin fikom. Terus lo suka ikan yang buat dipelihara apa ikan makanan yang dimasak gitu?”
“Oh iya,” kata Jeanath, teringat pada Jaziel. Lantas ia memberitahu lokasinya pada sosok itu.
Tak lama, Jeanath kembali manaruh atensinya pada mahasiswa ilmu komunikasi yang menjadi tour guide dadakan, melanjutkan perkataannya. “Dipelihara lah. Gue punya ikan cupang 2, namanya Udin sama Adin. Eh, btw nama gue Jeanath, tapi dipanggilnya Natha aja, kalau kakaknya siapa?”
“Kaya kenal sama yang namanya Natha dan suka ikan juga deh mirip lo,” ujar mahasiswa tersebut sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana, bermaksud membuka aplikasi Twitter—tempat dirinya berkenalan dengan orang bernama Natha. “Gue Eldebaran, tapi kepanjangan jadi panggil El aja.”
Eldebaran, rasanya Jeanath familiar dengan nama tersebut. Otaknya yang tak suka berpikir itu berusaha kembali mengingat-ingat, hingga akhirnya ia terbelalak.
Eldebaran yang itu.
“Loh ini kak El yang di Twitter? Pacarnya kak Al?” Jeanath bertanya histeris.
Eldebaran menunjukkan layar ponselnya ke Jeanath yang menampilkan akun Twitter milik Jeanath. “Iya! Lo Natha yang ini kan? Hahaha gila sempit banget dunia,” katanya. “Mau kuliah di sini apa gimana?” Eldebaran mulai tertarik dengan sosok Jeanath atau Natha di hadapannya.
“Yaampun malu banget.” Jeanath berkata dengan jujur.
Ia menarik napasnya sebelum menjawab, “Enggak sih, lagi ikut bedah kampus aja.”
Selang berikutnya, netra Jeanath menangkap sosok Jaziel yang memasuki kantin. Lantas ia melambaikan tangannya seraya tersenyum.
“Temen lo?” tanya Eldebaran, matanya mengikuti arah pandang Jeanath.
“Iya.” Jeanath menjawab tanpa melepas tatapannya dari sosok Jaziel.
Setelah Jaziel berada di hadapan mereka, Jeanath dengan semangat memperkenalkan sosok tersebut kepada Eldebaran.
“Senon, ini kak El mahasiswa ilkom di sini,” ucap Jeanath mengenalkan Eldebaran.
Tatapannya beralih pada Eldebaran. “Kak El, ini Jaziel temen gue.”
“Pacar,” koreksi Jaziel, membuat Jeanath sedikit salah tingkah.
“Oh iya, pacar,” ulang Jeanath.
“Hai, Ziel. Jaziel.” Eldebaran menyapa laki-laki yang baru datang itu. “Gue Eldebaran, panggil El aja biar cepet.”
Jaziel menatap Jeanath dan Eldebaran secara bergantian, kebingungan dengan wajah mereka yang terlampau mirip.
“Gak usah bingung gitu, Ziel,” ujar Eldebaran melihat ekspresi Jaziel. “Cowok gue juga mirip lo. Belum lama ini dia juga ketemu sama orang yang mirip gue,” katanya diakhiri dengan kekehan. “Lagian ya, kita semua kan emang punya kembaran.”
Kemudian Eldebaran menaruh sebungkus rokok dan korek api miliknya di atas meja. “Lo berdua ngerokok gak?”
Tangan Jeanath terulur, hampir mengambil rokok milik Eldebaran sebelum merasakan sebuah tatapan tajam dari Jaziel.
“Eh, gue sama Senon, eh maksudnya Jaziel gak ngerokok haha,” ucap Jeanath sedikit kaku.
Eldebaran mengangguk. “Gue ngerokok gapapa ya.” Ia mengambil satu batang, menyelipkan barang tersebut di bibir, dan membakarnya dengan api. Eldebaran mengembuskan asap rokok miliknya ke arah yang berlawanan dari sepasang kekasih di hadapannya.
“Iya, santai aja kak,” ucap Jeanath pada Eldebaran.
Atensi Jeanath kemudian beralih, maniknya menatap Jaziel yang masih berdiri.
“Duduk dong. Berdiri mulu daritadi kayak patung.” Lontaran Jeanath membuat Jaziel mengangguk kecil, lalu duduk di samping Jeanath.
“Makan apa?” tanya Jaziel seraya menatap piring Jeanath.
“Nasi gila, mau?” Jeanath menjulurkan sendoknya pada Jaziel.
“Enggak, kamu aja yang makan,” tolak Jaziel.
Jeanath melahap makanan miliknya, di sela sesi mengunyah, ia berkata, “Iya, gak usah minta soalnya aku laper banget.”
Sontak, Jaziel tersenyum. Menahan tawa yang ingin keluar, sebab merasa tak enak dengan sosok lain di sana.
Tak lama, datang seseorang yang mirip dengan Jaziel, menghampiri Eldebaran. “Udah dari tadi, ya?”
Eldebaran mengulurkan tangan, menyambut orang tersebut, dan langsung digenggamnya dengan tangan kanan. Tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Eldebaran malah menunjuk dua orang yang sedari tadi bersamanya. “Nih, kenalin.”
Laki-laki yang baru datang itu melihat mereka. Lantas ia melepas genggaman tangannya dengan Eldebaran. “Alkana,” ujarnya mantap. Tangan kanannya menggantung di udara, mengajak salah satu dari dua orang tersebut berjabat tangan. Berkenalan.
Jaziel bergegas bangkit dari posisi duduknya, membalas jabatan tangan tersebut. “Jaziel,” ucapnya datar, lalu melepaskan jabatan yang berlangsung singkat.
“Ini Jeanath, pacar gue,” lanjut Jaziel seraya menunjuk Jeanath yang duduk.
Alkana tersenyum tipis ke arah Jeanath. Kemudian ia menunduk, menatap kekasihnya yang masih duduk. Menaruh tangannya di puncak kepala Eldebaran, mengelusnya pelan. “Yuk, ay. Aku udah selesai.”
Setelahnya, Eldebaran mematikan rokoknya yang memang sudah pendek. Ia memasukkan kembali bungkus rokok dan korek api miliknya ke saku jaket, lalu berdiri. “Gue balik duluan ya, Nath, Ziel. Hati-hati lo berdua di sini. Natha jangan nyasar lagi, hahaha.”
Alkana dan Eldebaran pun melangkahkan kakinya, meninggalkan kantin fikom.
Baik Jeanath maupun Jaziel, keduanya memandang kepergian dua sosok itu dengan diam. Sebelum Jeanath menatap Jaziel dengan penuh binar.
“Aku pengen join mereka pacaran, boleh enggak?” Ada sebuah harapan yang besar dalam pertanyaan itu, terlihat dari setitik binar yang terpancar pada sepasang maniknya.
Dicubit pipi kanan milik Jeanath dengan gemas hingga sang empunya mengaduh kesakitan.
“Ih sakit!” protes Jeanath, berusaha menarik lengan Jaziel menjauh dari pipinya.
“Makan aja yang bener.” Jaziel berkata seraya kembali duduk.
Jeanath mendengus sebal, menyuapkan sendok ke dalam mulutnya dan melanjutkan aktivitas makan yang tertunda. Merasakan dirinya tengah ditatap, Jeanath mengangkat kepala, mempertemukan netranya dengan netra lain milik Jaziel.
“Ini enak tau, mau nyoba gak? Sedikit aja tapi.” Jeanath kembali menawarkan.
Alih-alih menyodorkan sendoknya pada Jaziel, ia melahap kembali makanannya. Pipi yang menggembung karena makanan itu bergerak pelan dengan manik yang terus menatap Jaziel.
“Mau,” ucap Jaziel akhirnya.
“Hm?” Jeanath menganggkat alis, masih mencerna satu kata yang terlontar.
Sebuah ibu jari yang menempel di bibir membuat Jeanath tersentak. Diusapnya bibir itu sekilas sebelum ditarik menjauh. Jeanath membelalak ketika melihat Jaziel yang menjilat ibu jarinya sendiri yang tadi dipakai untuk mengusap bibir Jeanath. Sontak Jeanath mendorong lengan atas Jaziel sekeras mungkin hingga sosok itu hampir terjatuh dari kursinya.
“Jorok!” seru Jeanath seraya melotot.
“Kan disuruh nyobain sedikit, Na,” ujar Jaziel, mengusap bekas pukulan Jeanath di lengan kirinya.
Jeanath menatap Jaziel sinis. “Ya gak gitu juga!”
Melihat Jeanath yang kembali sibuk dengan makanannya, Jaziel terkekeh. Ia merapikan surai Jeanath yang berantakan. Sebuah lengkungan tipis terangkat untuk menciptakan senyuman pada wajah Jaziel.
“Nyobain dong sesuap,” Jaziel membuka mulutnya, bersiap untuk menerima makanan.
“Aaaa,” ucap keduanya berbarengan.
“Enak?” tanya Jeanath dengan rasa penasaran terselip pada matanya.
“Enakan kamu.”
Siang itu, Jaziel mendapatkan sebuah pukulan tepat di hidung bangirnya. Beruntung kacamatanya tidak rusak.