Tarot cards said you should be patient

Jeanath terkejut ketika melihat Jaziel yang masuk ke dalam booth yang ia jaga. Dari sekian banyak orang yang mengunjungi booth kelasnya, ia tak pernah menyangka akan berhadapan dengan sosok Jaziel.

Sejak kapan sosok itu peduli dengan hal seperti ini?

Sejak mengenal Jeanath, tapi Jeanath saja yang tidak tahu. #JazielSadBoy

Namun, Jeanath harus tetap bersikap profesional. Padahal itu hanya akal-akalannya saja sih agar tidak terlihat terlalu bodoh di mata Jaziel. Alasannya karena ia daritadi hanya mengarang bebas saat membacakan kartu tarot pada siswa lain.

“Nasib apa yang pengen dibaca?” tanya Jeanath seraya mengatur ekspresinya.

Ingat, profesionalisme nomor satu.

“Tebak.”

Anak anj-

Berusaha untuk tidak terbawa emosi, Jeanath tersenyum. Sepertinya Jaziel sedang mengujinya.

“Oke. Masalah percintaan,” ucap Jeanath asal.

Sosok itu kemudian mulai mengambil kartu tarotnya satu persatu. Ia melirik sekilas ke arah Jaziel sebelum bergerak membuka salah satu kartu yang terambil.

“Hmmm kartu ini bilang kalau….”

Sialan, Jeanath tak tahu harus berkata apa. Otaknya sedikit susah untuk mengarang cerita karena sudah banyak orang yang mendatanginya. Apa ia harus mengulang karangan bebas yang sebelumnya ia buat?

“Masalah percintaan lo agak rumit,” Jeanath mulai membuat cerita asal.

Kemudian ia kembali membuka kartu lain.

“Tapi tenang! Di sini katanya bakal ada titik terangnya,” ucap Jeanath seraya menunjuk gambar matahari.

Mata Jeanath terpejam sesaat sebelum membuka kartu berikutnya.

“Lo lihat gambar prajurit di sini? Artinya lo harus menghadapi semua rintangan dengan berani.” Jeanath berkata seraya menganggukkan kepalanya.

Satu kartu terakhir dibuka.

“Kompas? Jam?” monolog Jeanath.

“Hm kartu ini bilang kalau lo harus nunggu dengan sabar. It’s all about the time.

“Tapi gue gak yakin ini gambar apa,” bisik Jeanath kepada dirinya sendiri.

Jeanath melirik Jaziel yang memerhatikannya. Ia sedikit berdeham sambil membenarkan posisi duduknya.

“Intinya gitu.”

“Udah?” tanya Jaziel.

“Udah. Silahkan keluar lewat sana.” Jeanath mengusir.

Alih-alih pergi, Jaziel menarik kursi yang ia duduki. Kemudian ia mengeluarkan jus kemasan dan onigiri yang dibelinya untuk Jeanath.

“Istirahat dulu.”

Melihat itu, netra Jeanath berbinar. Ia langsung meminum jus yang diberikan Jaziel. Tenggorokannya sedikit kering karena terus berbicara.

“Daritadi banyak banget yang ke sini. Capek,” ucap Jeanath yang kini sibuk membuka onigiri.

Dilahapnya onigiri pemberian dari Jaziel dengan sedikit emosi. Maklum, ia kecapaian jadi sedikit emosi.

“Mau?” tanya Jeanath dengan mulut yang penuh.

Jaziel menggeleng, “Buat lo aja.”

Mata Jeanath menyipit, lalu ia menjulurkan tangannya.

“Aaa.”

Melihat Jeanath yang menyodorkan onigiri untuknya, Jaziel tak bisa untuk tak tersenyum. Ia menerima tawaran Jeanath dengan senang hati.

“Lima belas menit istirahatnya cukup gak?” tanya Jeanath seraya mengunyah.

Jeanath mengangguk kecil.

“Cukup!”