Sorry for breaking your calculator
Tutor kali ini sangat meresahkan —setidaknya bagi Jeanath. Bagaimana pun, ia masih gelisah. Belum berani memberitahu perihal ‘rusaknya kalkulator jaziel karena tidak sengaja terinjak’ pada sang pemilik. Ditambah Jaziel yang agak berbeda hari ini membuat Jeanath semakin ketakutan.
Hampir ingin mengompol, tapi tidak jadi karena ia sudah besar dan beruntung kandung kemihnya masih bekerja dengan baik.
Mungkin, jika Jaziel tidak mengeluarkan hawa mencekam di antara mereka, Jeanath tidak akan setakut ini. Ketika kaki Jeanath menapak di ruang belajar khusus, Jaziel seperti ingin menguburnya hidup-hidup.
Oke, hiperbola. Kita perbaiki kalimatnya seperti ini: Jaziel hanya mendelik sekali, tetapi Jeanath merasa sangat tertekan.
Jeanath kini bak cacing yang tengah kepanasan. Seperti pantatnya terbakar api bunsen, hingga ia terus mengubah posisi duduknya.
Sejak kapan ketika seseorang menyimpan penanya menjadi semenyeramkan ini?
Sejak Jeanath merusak kalkulator milik Jaziel, tentunya.
Akhirnya dengan setitik keberanian, Jeanath membuka mulutnya. Namun, tertutup kembali ketika Jaziel membereskan alat tulis miliknya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Xenon,” panggil Jeanath dengan suara yang tertahan.
Jaziel menghentikan kegiatannya. Menatap Jeanath datar. Hanya menatap, masih enggan berbicara.
“Anu, itu. Kalkulator lo.”
Tak ada balasan apapun dari Jaziel. Ia masih menatap Jeanath hingga sosok itu kelabakan membuka tasnya.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Jeanath menjulurkan kalkulator yang ia beli kemarin. Tanpa diduga, Jaziel mengambil kalkulator tersebut. Seolah kalkulator yang ia ambil memang miliknya.
“Gue gantiin yang baru gapapa?”
Jaziel kembali menatap Jeanath. Salah satu alisnya terangkat, meminta penjelasan lebih.
“Jadi, sebenernya kalkulator yang gue pinjem kemarin tuh rusak. Gini oke, gue jelasin dulu.” Jeanath memulai ceritanya.
“Gue lagi pake sepatu waktu itu, mau balikin kalkulatornya pas istirahat pertama. Gue pake sepatunya sambil berdiri. Eh gak tau darimana si bangsat Harris tiba-tiba lari terus nubruk badan gue. Oleng lah gue. Abis itu karena mau nyungseb, gue kehilangan keseimbangan. Wajar dong kalau kalkulatornya jatoh dari tangan gue terus gue nahan badan gue biar gak jatoh sambil musatin tekanan di kaki gue. Hukum fisika! Ya, kan? Makanya pas kalkulatornya jatuh sama gue keinjek pake tenaga dalam. Rusak deh,” jelas Jeanath panjang lebar.
Diakhir cerita, Jeanath menunduk. Merasa bersalah sekaligus takut.
“Maaf, ya. Kalkulatornya gue rusak,” ujar Jeanath.
“Oke.”
Oke? Oke doang? Gak dimarahin?
Mendengar itu, Jeanath mendongak. Ia dapat melihat Jaziel yang bersikap tak acuh.
“Udah gitu doang?” tanya Jeanath memastikan.
“Ya terus harus gue apain?” Jaziel balik bertanya.
“Dimarahin? Dikasih ceramah? Dihukum?”
Jaziel hanya berdecak. Ia kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
“Kan emang gak sengaja. Lagian ini udah lo ganti juga. Ngapain gue harus marah?”
Jeanath tak bisa menahan senyumnya. Dengan senyuman yang terus menghiasi wajah, Jeanath ikut membereskan barang-barangnya. Tak lama, ia terdiam. Menyadari ada satu hal lagi yang perlu disampaikan.
“Satu lagi!” seru Jeanath yang menarik atensi Jaziel.
Sosok itu kembali sibuk mencari barang di dalam tasnya.
“Sebagai tanda permintaan maaf, gue punya sesuatu buat lo.”
Kemudian Jeanath mengeluarkan sebuah pita berwarna pink pastel. Tunggu —pita?
“Gue gak tau mau beliin lo apa. Jadi gue—“ Jeanath menggantung ucapannya.
Memasangkan pita itu pada surai hitam miliknya. Tersenyum lebar sebelum kembali bersuara.
“Menghadiahkan diri gue sendiri sebagai permintaan maaf.”
Hening.
Tak ada yang bersuara, hanya dua pasang netra yang saling bercengkrama.
Senyuman lebar itu kini pudar. Digantikan oleh ekspresi canggung.
“Haha, sorry. Gak lucu, ya?”
Jeanath buru-buru melepas pita yang bertengger manis di surai hitamnya. Memasukkan kembali benda itu dalam tas. Netranya menatap Jaziel seklias sebelum kembali menunduk.
Hanya berselang satu detik hingga Jeanath tersadar bahwa ada yang salah dengan sosok itu.
“Xenon!”
Jaziel mimisan.