Dealing with Xe
Hidup Jeanath kini dipenuhi dengan tutor yang membuat otaknya selalu berkecamuk. Setelah hampir satu bulan mengenal Jaziel, ia merasa mereka tak pernah dekat. Bukan berarti Jeanath menginginkan untuk dekat hingga berteman dengannya, Jeanath hanya penasaran dengan sosok Jaziel. Ingat, bukan ingin berteman. Hanya sebuah rasa penasaran. Walaupun mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi interaksi mereka terbatas pada sesi tutor saja. Bahkan, bertukar sapa tatkala keduanya bertemu pun tak pernah.
Aneh
Bagi Jeanath, sosok berkacamata itu selalu aneh dan tidak dapat ditebak.
Tidak ada yang salah dengan Jaziel. Selain terlihat sangat teladan, sosok itu juga tampan, ralat, maksud Jeanath adalah sedikit baik. Ia tidak seseram apa yang Jeanath pikirkan dulu, meskipun tetap menyebalkan karena sering memberinya hukuman militer yang kadang sampai membuat tubuh Jeanath encok. Seharusnya Jaziel tidak pantas disalahkan karena hal ini. Jeanath sendiri yang sering membuat masalah dengan Jaziel, salah satunya jarang mengerjakan tugas yang diberikan.
Bukan tanpa alasan Jeanath selalu bermasalah. Motto hidupnya adalah “Hidup untuk mencari masalah dan masalah merupakan bagian dari kehidupan. Jadi bermasalahlah selama hidupmu.”
Jaziel tak pernah marah tanpa sebab dan Jeanath mengakui jika sosok yang kini berada di hadapannya mengajar dengan baik. Padahal dulu, Jeanath mengira bahwa Jaziel tak dapat mengajarinya dengan benar dan pelit ilmu. Ternyata ia salah besar. Tutor yang dibayangkan Jeanath sebelumnya mungkin jauh lebih buruk dibandingkan realita. Imajinasi Jeanath terhadap Jaziel yang akan berubah menjadi monster jahat ketika ia tak mengerti penjelasan sang tutor perlahan ditepis oleh kenyataan bahwa Jaziel tidaklah seperti itu.
Ngomong-ngomong tentang Jaziel, sosoknya sekarang tengah diperhatikan tanpa jeda oleh Jeanath. Netra yang membulat dengan bulu mata lentik itu memerhatikan bagaimana Jaziel memeriksa jawaban post-test Jeanath. Pembawaannya selalu tenang, kadang Jeanath ingin melihat Jaziel yang menunjukkan ekspresi marahnya. Atau bagaimana jika Jeanath membuatnya menangis? Kan, Jeanath menjadi semakin penasaran.
Merasa bosan atas kegiatannya sendiri, Jeanath menyimpan pipi kirinya di atas meja. Sensasi dingin yang menjalar dari permukaan meja tak Jeanath hiraukan. Pandangannya tertuju pada jendela.
Sosok yang duduk pada kursi di seberang Jeanath menaruh pena miliknya di atas meja. Netranya menatap surai legam milik Jeanath, lalu bertanya, “Ulangan harian kimia di kelas lo kapan?” Suara Jaziel memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
Tanpa menoleh pada lawan bicaranya, Jeanath menjawab, “Jumat.” Manik matanya terus menerawang keluar jendela, entah apa yang tengah ia cari.
Kacamata yang sedikit turun itu dinaikkan oleh sang pemilik, fokusnya masih berada pada Jeanath. “Target nilai lo berapa?” Jaziel kembali bertanya.
Terdapat sebuah kerutan halus pada kening Jeanath. Ia tak mengerti maksud dari pertanyaan Jaziel. Apa tadi? Target nilai? Memangnya ada hal yang seperti itu? Seumur hidupnya, Jeanath tak pernah memiliki target untuk apapun itu. Target hidup pun tidak punya, apalagi target nilai yang notabenenya ia tak peduli sama sekali dengan hal tersebut.
“Empat lima?” Bukannya menjawab, Jeanath malah bertanya kepada dirinya sendiri. Ragu atas tutur kata yang terucap.
Di depannya, Jaziel menghela napas. Berusaha untuk memahami keraguan Jeanath. “Nilai kimia lo paling tinggi berapa?”
Sejujurnya, Jeanath tidak tahu. Ia tak pernah mengingat nilai-nilai yang pernah ia dapatkan. Kecuali nilai minus dua puluh tiga yang menggiringnya pada kegiatan tutor hari ini.
“Empat puluh delapan kayaknya.” Nada yang penuh kebingungan itu membuat Jaziel mengerutkan kedua alisnya sekilas.
“Kalau lo dapet nilai di atas KKM, gue turutin semua kemauan lo,” ujar Jaziel, membuat kesepakatan.
Kelopak mata yang hampir terpejam itu kini melebar atas ujaran Jaziel. Pada sepasang netra elok, hadir setitik binar yang menghiasi. Jeanath lantas mengangkat pipi yang menempel pada meja.
“Yang bener?” tanyanya.
Jaziel hanya mengangguk sebagai jawaban.
Sebuah senyuman lebar tercetak pada wajah yang kini tengah berseri. “Apa aja?” tanya Jeanath kembali. “Apa aja,” ulang Jaziel.
Senyumannya semakin lebar. “Termasuk gue yang boleh nyuruh lo lari 20 keliling? Push up 100 kali? Ngebersihin halaman sekolah depan belakang? Ngebersihin kamar mandi semua lantai?”
Lagi-lagi Jaziel mengangguk. “Ya.”
“Deal!” Jeanath berseru, bersamaan dengan rasa senang yang menggebu.
Kemudian, Jeanath mengulurkan tangannya. Jaziel hanya terdiam menatap uluran tangan Jeanath, tak berniat untuk membalasnya sama sekali. Tidak hingga Jeanath menarik tangan miliknya secara paksa dan membuatnya berjabat tangan.