He was too scared

“Om Jeno, mau sampai kapan ngelihatin Nana-nya?”

Melihat Jeno yang tersentak kaget, Jaemin terkekeh kecil. Kemudian ia berjalan mendekat dan naik ke dalam pangkuan Jeno yang tengah duduk di kursi kerjanya.

“Nana kangen,” ucap Jaemin setengah berbisik.

Pucuk hidung milik Jaemin mengedus piyama sosok yang ia dekap. Menghirup aroma tubuh yang dirindukannya.

“I miss you too.”

Manik Jaemin terpejam tatkala merasakan kecupan kecil di kepala.

“Pulang sama siapa?” tanya Jeno seraya memainkan surai Jaemin.

“Renjun.”

Jaemin mendongak, mempertemukan hazelnya dengan obsidian.

“Om Jeno beresin dulu kerjaannya. Nanti Nana mau ngomong sesuatu.”

Dikecupnya kening Jaemin sebelum mengangguk. Jeno kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti dengan Jaemin dalam dekapannya. Secepat mungkin menyelesaikan sisa pekerjaan yang ia bawa ke rumah sambil sesekali melirik Jaemin yang masih terjaga.

Setengah jam kemudian, Jeno merentangkan kedua tangannya. Melirik kembali Jaemin yang duduk nyaman di pangkuannya.

“Udah?” tanya Jaemin.

“Udah.” Mendengar jawaban Jeno, lantas Jaemin beranjak dari pangkuan sosok yang lebih tua.

Menarik lengan Jeno sebelum melepasnya, kemudian berbaring di atas ranjang.

“Sini, pengen cuddle,” ucap Jaemin yang dibalas dengan kekehan.

Jeno ikut membaringkan dirinya. Membawa Jaemin kembali dalam dekapan. Netranya tak lepas memandang Jaemin, menyalurkan rindu yang tak terucap.

“Om Jeno ga bakal nanya kenapa Nana tiba-tiba nginep di rumah Renjun?”

Pertanyaan Jaemin membuat Jeno terkesiap.

“Did i do something wrong?”

“Engga! Om Jeno ga salah apa-apa. Yang salah itu Nana tau,” jawab Jaemin dengan bibir yang mengerucut.

“Maaf.”

Lagi-lagi Jaemin membuat Jeno terkesiap. Jantungnya berdegup kencang dan memikirkan skenario buruk yang ia takutkan terjadi.

“Nana udah buat Om Jeno nunggu lama, ya?”

“Nana.”

Jeno menatap netra Jaemin dalam dengan pikiran yang berkecamuk. Rasa takut ditinggalkan tiba-tiba menyeruak hingga dadanya sesak.

Apakah Jaemin akan meninggalkannya lagi?

“Can we start over?” bisik Jaemin.

Suara yang begitu pelan membuat Jeno harus terdiam beberapa saat sebelum mengerjapkan kedua matanya.

“I know I’ve hurt you a lot. But can we start over? Can we say ‘I love you’ to each other and when you said ‘I love you’, I can say ‘I love you too’?”

“Aren’t you sick of it? When you told that you love me, but i’ve never said it back? So from now on, I’ll tell that I love you too. I love you so much, I do. I’m just too scared to say it back and I ended up hurting you.”

Jaemin menundukan pandangannya. Jemari milikinya memainkan kancing piyama milik Jeno, tak berani menatap sang empunya.

“Say it again, please.”

Wajah Jaemin terangkat, ketika netra keduanya bertemu, sebuah semburat merah menghiasi pipi yang sedikit berisi.

“I love you, Lee Jeno,” ucap Jaemin lantang seraya menatap Jeno tepat di matanya.

“Loh? Om Jeno? Kok nangis?!”

Panik, Jaemin meraup wajah Jeno. Menghapus air mata yang tiba-tiba keluar dari netra Jeno.

“I thought i’ve never heard that.”

Jaemin terdiam sebelum menggigit bibir bawahnya.

“Maaf.”

“No, you don’t have to say sorry,” ucap Jeno seraya meraih wajah Jaemin dan memberikan kecupan pada keningnya.

“I love you too.”

Baik Jeno maupun Jaemin, keduanya saling tersenyum. Sebelum Jeno menghapus jarak di antara mereka dan mencium bibir Jaemin dengan lembut.

Setelah tautan manis mereka terlepas, Jaemin berbisik, “Can we take it slowly? You know….”

“I know, i’ll be waiting. Just don’t make me wait too long.”