A piece of tiramisu means you’re doing good

Hal pertama yang Jeanath lihat tatkala tiba di ruang belajar khusus adalah Jaziel yang tengah memandang ke luar jendela. Mendengar pintu yang bedecit, sosok itu menoleh, membuat keduanya saling bertatapan. Jeanath yang pertama memutuskan kontak mata mereka. Pandangannya beralih pada sepotong tiramisu di atas meja.

Ada setitik binar pada netra bulat milik Jeanath.

“Woah,” ucapnya terkesiap.

Kaki jenjangnya melangkah mendekat pada Jaziel. Menarik salah satu kursi, lalu duduk seraya menatap sepotong tiramisu dengan mata yang bersinar. Tangannya hampir mengambil sendok yang tergeletak di samping makanan manis itu, sebelum terhenti seketika.

Binar pada manik matanya menghilang, digantikan oleh kabut gelap yang membuat tatapannya menjadi sendu. Bibir tipisnya lantas mengerucut.

“Dimarahin nggak?” tanya Jeanath pelan.

“Apanya?” Jaziel balik bertanya, obsidian miliknya memandang Jeanath yang tengah terpaku pada keik di atas meja.

Jeanath menghela napasnya berat, lalu berkata, “Itu, nilai gue kan kecil. Nyampe angka 7 aja nggak.”

Suara kursi yang bergesekan dengan lantai menimbulkan bunyi nyaring, membuat Jeanath mendongak hingga mempertemukan netranya dengan obsidian milik Jaziel.

“Kenapa gue harus marah? You did your best. Lihat lo yang beberapa hari ke belakang ini belajar aja nunjukin kalau lo emang udah berusaha. Hasilnya bagus atau jelek, I don’t really care. You should be proud of yourself for making minus 23 to 65. It was a great job,” ucap Jaziel seraya tersenyum tipis.

Pujian itu tak dikeluarkan penuh kelembutan, masih dengan intonasi datar, tetapi mampu menimbulkan kehangatan. Kemudian Jeanath, termenung atas apa yang ia dengar. Ia tak mengingat kapan terakhir kali dirinya mendapatkan apresiasi. Perasaan hangat yang menjalar pada relung dada membuatnya merasa sedikit sentimental.

Mengapa rasanya begitu menyenangkan ketika mendengar pujian atas apa yang telah ia lakukan?

Jeanath ingin mendengarnya terus menerus hingga menjadi alunan yang meneguhkan sanubari.

Menimbulkan sebuah senyuman manis hingga netranya menyipit. “Did I?” tanya Jeanath pelan.

Anggukan dari sosok yang duduk di hadapannya membuat rasa senang Jeanath melambung tinggi. “Yes, you did.” Jaziel melanjutkan perkataannya, “Tuh makan tiramisunya.”

Dengan semangat, Jeanath mengambil sendok tanpa keraguan. Mulai memasukan potongan kecil tiramisu ke dalam mulutnya. Ia menatap Jaziel sekilas dan tersadar bahwa dirinya tengah diperhatikan. Jeanath lantas menunduk.

“Thank you,” bisik Jeanath yang masih terdengar oleh Jaziel

“Anytime.”