jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Derap langkah kaki menyelingi suara yang dipenuhi antusiasme. Lengan kemeja biru mudanya digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan bermerek pemberian dari sosok yang menimpalinya lewat sambungan telepon. Hari ini berjalan dengan sangat baik hingga Kara tersenyum sepanjang perjalanan pulang.

“Padahal kemarin aku ngerasa gak diterima banget di sini. Aku udah overthinking, takut kedepannya makin lebih buruk, tapi ternyata cuman butuh sehari aja buat orang-orang di klinik berubah jadi baik,” ujar Kara penuh semangat.

“Hari ini aku meriksa banyak pasien. Aku juga ngobrol banyak sama orang-orang di klinik,” lanjutnya.

Tungkai kakinya berhenti di samping pagar rumah yang kini ia tempati. Kara menengadahkan kepala, menatap jingga yang membentang luas. Bahkan langit di sore hari pun tampak lebih menawan.

“You sound happy.”

Kara dengan spontan mengangguk, meski ia tahu Noah tak dapat melihatnya.

“I am.”

Awalnya, hanya ada keraguan ketika Kara menginjakkan kakinya di tempat yang asing. Tapi ternyata, tempat yang tengah ia pijak saat ini tidak terlalu buruk. Kara dapat bernapas sejenak dari semuanya, terutama dari berbagai tuntutan yang menyesakkan dada.

“That’s bad.” Perkataan dari lawan bicaranya melunturkan senyuman yang terlukis di wajah Kara.

“Kamu gak ada rencana buat tinggal di situ selamanya, kan?”

Harinya baik, sudah sangat baik, dan seharusnya berakhir dengan baik. Namun, ekspektasinya runtuh dan bercerai berai oleh pertanyaan dari sosok yang menempati kekosongan hati.

“Let’s not talk about this,” pinta Kara dengan nada hambar, kesenangannya meluap begitu saja.

“Gimana sama sekolah kamu? Gak mungkin kan kamu gak ngelanjutin spesialis kamu di sini?” Lagi-lagi Noah bertanya.

“You must be here, Shaka. You still have time to apologise for the things that you did.”

Kara menggenggam ponselnya dengan erat seraya memejamkan mata. Harinya kini berubah menjadi buruk.

“Lagian dunia kerja itu emang kayak gitu. Gak semuanya harus sesuai sama yang kamu mau. Kamu harus tunduk sama orang di atas kamu and that’s how you survive. Everyone does it, Shaka. I do the same, everyone does the same. Everyone but you.

Jeda yang diisi keheningan memakan setiap sekon yang terlewati. Jantung yang berdetak cepat seakan memompa darah untuk mendistribusikan rasa kesal dan kecewa di seluruh tubuh Kara.

“I don’t wanna talk with you anymore.” Satu kalimat terucap memecah sunyi.

Di seberang sana, Kara dapat mendengar Noah yang menghela napas, membuat emosinya semakin bergejolak.

“You need to grow up, Shaka.”

“You said you missed me, but what the fuck is this? You sound like you just want to blame me for every sake I did!” seru Kara, suaranya lebih lantang.

“Let’s just break up,” ucap Kara final.

Sambungan telepon diputus sepihak oleh Kara. Napasnya memburu akibat amarah yang mengebu. Kara terdiam di tempatnya berdiri, mengatur napas agar kekesalannya memudar.

Setelah merasa lebih stabil, Kara melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Memasuki pekarangan rumah dengan tatapan hampa. Rasanya seperti dijatuhkan dari gedung pencakar langit, sebagian dari dirinya hancur lebur.

Belum cukup disakiti oleh perkataan sang kekasih yang menemaninya hampir empat tahun, ia sudah ditampar kembali oleh keberadaan sosok lain di depan rumahnya.

Sosok yang paling terakhir ingin Kara temui setelah ia diterjang kesialan.

“Lu denger berapa banyak?” tanya Kara yang memantung di tempat.

Aksa terdiam sesaat sebelum menjawab, “Semuanya.”

Kesialan agaknya terlalu sering berkunjung dalam kehidupan Kara hingga ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kesialan apa lagi yang akan menimpanya setelah ini.

Entah karena dorongan dari emosi yang belum sepeunuhnya ia redam, atau dendam di masa lalu, Kara merasa kesal atas keberadaan Aksa. Ia merasa sangat memalukan dan Aksa seperti tengah menertawainya dalam diam.

“Lu gak mau ngetawain gua?” Kara kembali bertanya.

“Gua harus ketawa?”

Kara terlalu sensitif untuk mendengar semua hal yang keluar dari mulut Aksa.

“Nggak sih, dilihat dari lu sekarang di sini, kayaknya lu gak berhak buat ketawa. Bahkan mungkin hidup lu jauh lebih buruk daripada hidup gua.”

Kali ini Aksa mengernyit. Ia tampak tersinggung dengan ucapan Kara.

“Emang kenapa sama hidup gua?” tanya Aksa.

Kara melirik tumpukan rumput di sebelah Aksa. Jika Aksa hidup lebih baik darinya, Aksa tidak mungkin berada di tempat yang sama dengan Kara. Seharusnya Aksa berada di sebuah kota yang menopang karirnya dengan baik, bukan berada di tempat terpencil yang jarang diketahui orang lain.

“Apa yang lu cari di sini? Lu jauh-jauh kuliah ke luar negeri cuman buat tinggal di sini? Kalau hidup lu jauh lebih baik dari gua, lu harusnya ada di tempat yang seluruh dunia tau,” jawab Kara.

“Gua sendiri yang milih buat hidup di sini dan gua bahagia sama pilihan gua. Seenggaknya gua tau caranya buat menikmati hidup, gak kayak seseorang.” Aksa membalas ucapan Kara, tatapan matanya lurus.

Sebelum tersulut ke dalam perkelahian yang lebih sengit, Aksa mengembuskan napasnya kasar.

“Kayaknya lu butuh menjernihkan pikiran. Gua anggap kita gak pernah ketemu hari ini,” ujar Aksa sebelum beranjak pergi.

Hidup, memang selalu dipenuhi hal-hal di luar nalar. Kejadian yang tak terduga datang tanpa permisi, layaknya hujan di tengah musim kemarau panjang. Ketika melihat sang mentari terbit pagi hari di tengah kegiatan berlarinya, Aksa seolah merasakan embusan angin berbisik padanya bahwa hari ini akan menjadi luar biasa.

Mungkin maksudnya adalah luar biasa tak terduganya. Dilempari batu sebesar kepalan tangan tepat di kening, cukup membuat darahnya bercucuran keluar.

“Cu, maafin Emak, ya.” Perkataan berulang yang keluar dari mulut wanita paruh baya membuat Aksa memaksakan diri agar terlihat baik-baik saja.

“Gak papa, Mak. Sakitnya sedikit, kok. Buktinya Aksa masih bisa lari ke klinik,” ujar Aksa berdusta.

Pandangan Aksa hampir mengabur, beruntung pintu klinik sudah berada di depan matanya. Seandainya Aksa perlu berjalan sedikit lebih jauh, mungkin ia sudah terkapar di bawah terik matahari. Tak sadarkan diri akibat lemas yang menyerang.

“Neng, tolongin ini cucu Emak.” Sosok paruh baya yang biasa dipanggil Mak Enah itu berjalan tergesa menghampiri salah satu perawat.

Aksa tersenyum simpul saat mendengar kata ‘cucu’. Ia telah dianggap cucu oleh semua nenek dan kakek di sini. Semua orang menyukainya, Aksa pun menyukainya.

“Mas Aksa!” Suara yang Aksa kenal membuatnya menoleh, manik matanya menangkap sosok perawat yang familiar dan satu sosok lainnya.

Sosok dengan jas putih yang membalut scrub biru tengah melamun dengan pandangan ke arah depan. Pandangan matanya tampak kosong dan wajahnya terlihat suram, tak menyadari keberadaan Aksa yang bersimbah darah.

“Loh, Aksa? Kamu kenapa?” Salah satu dokter senior mendatangi Aksa, menarik perhatian Kara yang sempat hanyut dalam lautan pikiran.

Netra mereka saling bersirobok untuk sesaat, sebelum Aksa memalingkan wajahnya.

“Emak gak sengaja ngelemparin batu, Dok,” Mak Enah menjawab, ekspresi wajahnya terlihat khawatir.

“Waduh,” kaget sang dokter. Ia lantas menoleh ke belakang, kemudian menyerukan satu nama, “Kara!”

“Mas, duduk dulu.” Atensi Aksa tertarik pada Laras, perawat muda yang sempat memanggilnya.

Tirai yang menjadi pembatas antara ranjang pasien di ruang tindakan ditarik. Aksa duduk di atas ranjang dengan Mak Enah yang menggenggam tangannya erat.

“Mak, Aksa gak papa. Nih, lihat, masih bisa ngedipin Emak,” guyon Aksa, berusaha mencairkan suasana.

Tampak Mak Enah menyunggingkan senyum. Aksa mengusap punggung tangan Mak Enah seraya terkikik.

“Permisi.” Sosok berjas putih yang menarik perhatian Aksa menyela.

Kara, datang dengan sebuah senyuman ramah. “Saya periksa dulu ya,” ujarnya sambil menghampiri Aksa.

Kontak mata yang terjalin membuat rasa canggung merayap dalam diri Aksa. Entah apa alasannya, Aksa tidak tahu. Mungkin karena mereka menghabiskan waktu selama tiga tahun di masa sekolah menengah atas yang jauh dari kata akur.

Kan, hidup ini memang dipenuhi hal di luar nalar. Sosok yang sering melempar berbagai macam benda ke kepala Aksa kini menjadi dokter yang mengobati luka di keningnya. Aksa bahkan masih mengingat Kara yang melempar buku ke kepalanya sembari berteriak lantang.

“Dibersihin dulu ya, lukanya. Nanti di—“ Kara melirik wanita paruh baya yang berada di samping Aksa. “Dijahit, sedikit aja kok,” lanjut Kara.

“Tuh kan, Mak. Sedikit doang,” ulang Aksa, meyakinkan Mak Enah.

Suara tirai yang dibuka terdengar. Laras muncul membawa troli instrumen. Kemudian, Kara bergegas menyiapkan alat tempurnya. Di tempatnya berada, Aksa dapat melihat perubahan ekspresi Kara yang menjadi lebih cerah.

Rasa sakit yang mulai menjalar mengalihkan fokus Aksa. Ia lantas mengajak Mak Enah mengobrol, menghabiskan waktu yang terasa lambat. Tatkala kapas dingin menempel tepat di lukanya, ringisan kecil terdengar.

Salah satu tangan Aksa menggenggam ujung ranjang dengan keras. Ia tak cukup kuat untuk menahan rasa sakit dan perih di saat yang bersamaan. Matanya tak berani menatap Kara yang berbinar menatap sebuah needle holder di tangannya.

Dalam hati, Aksa berdoa agar ia segera meminum obat pereda nyeri.

“Selesai.”

Perlu waktu yang agak lama untuk Aksa tersadar dari lamunan. Ia mengejapkan matanya, sebelum berdeham.

“Mak, ikut saya dulu, ya.” Laras berkata lembut seraya menarik Mak Enah pergi.

Aksa yang masih terdiam mengamati orang-orang di hadapannya. Manik matanya menangkap Kara yang membuka mulutnya, namun kembali ia tutup saat Laras meliriknya sekilas sebelum beranjak pergi.

Meninggalkan Aksa dan Kara yang terbuai oleh pikirannya masing-masing. Suasana aneh di antara Kara dan Laras mengingatkan Aksa kepada cerita Niko di pagi hari.

“Apa?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Kara membuat Aksa mengingatkannya pada sosok Kara yang ia kenal dulu.

“Lu kayaknya masih sama kayak dulu,” jawab Aksa.

“Lu juga masih sama kayak dulu.”

Dari cara Kara menatapnya, nada bicaranya, semuanya, masih sama. Sama-sama menyebalkan.

Tak ada yang perlu Aksa khawatirkan. Mereka tidak sedekat itu hingga Aksa harus mengkhawatirkan sosok di hadapannya.


“Laras,” panggil Aksa sebelum berjalan keluar dari klinik.

“Ya, Mas?”

Aksa terdiam untuk sesaat, menimang kata-kata yang hendak ia keluarkan.

“Tolong bilangin ke yang lain kalau Dokter Kara itu temen saya waktu SMA,” ujar Aksa dengan lidah yang sedikit kelu.

Lawan bicaranya tampak terkejut. “Iya toh, Mas? Saya gak tau!” bisik Laras.

“Kenapa Mas gak bilang dari kemarin? Saya kira Dokter Kara sebelas dua belas sama anak-anak PKL yang dulu ke sini loh! Jadi semua orang pada jaga jarak sama Dokter Kara, soalnya Mas tau sendiri kan waktu itu anak-anak PKL pada gak sopan sama warga di sini. Abisnya Dokter Kara ke sini tiba-tiba gitu loh, Mas. Yang lain kan pada ngira Dokter Kara itu dilempar dari tempat kerjanya gara-gara gak bener.” Panjang, lebar, dan cukup membuat Aksa pusing akibat Laras yang menjelaskan begitu cepat.

“Makanya sekarang harus sopan sama Dokter Kara. Dia itu kebanggaan sekolah saya dulu. Orangnya juga baik.” Aksa hampir menggigit lidahnya sendiri.

Selama mengenal Kara dalam hidupnya, Aksa tidak ingat kapan sosok itu berbuat baik padanya. Kara itu baik, kecuali pada Aksa.

“Intinya gitu. Saya mau pulang,” pamit Aksa, meninggalkan Laras yang masih memantung.

Di tengah perjalanannya keluar klinik, ia menyaksikan kembali Kara yang melamun di depan meja resepsionis. Aksa menyapa pegawai klinik dan berbisik meminta sobekan kerta kecil beserta plester. Menuliskan sesuatu di sana sebelum berjalan ke arah Kara.

Aksa diam sesaat di hadapan Kara yang kini menyadari keberadaannya.

“Apa?” tanya Kara.

Sosok yang dibalut kaus putih polos dan celana jeans mengembuskan napasnya kasar. Kepala Kara terdorong ke belakang ketika tangan Aksa menepuk keningnya agak keras.

“Jimat.”

Tanpa menjelaskan tindakan dan ucapannya, Aksa berjalan pergi. Meninggalkan Kara yang dilanda kebingungan. Ia kemudian melepas sesuatu yang terasa menempel di keningnya.

Temennya Aksa waktu sekolah, tolong ditemenin.

Jangan Sentimental, Katanya

Hidup, memang selalu dipenuhi hal-hal di luar nalar. Kejadian yang tak terduga datang tanpa permisi, layaknya hujan di tengah musim kemarau panjang. Ketika melihat sang mentari terbit pagi hari di tengah kegiatan berlarinya, Aksa seolah merasakan embusan angin berbisik padanya bahwa hari ini akan menjadi luar biasa.

Mungkin maksudnya adalah luar biasa tak terduganya. Dilempari batu sebesar kepalan tangan tepat di kening, cukup membuat darahnya bercucuran keluar.

“Cu, maafin Emak, ya.” Perkataan berulang yang keluar dari mulut wanita paruh baya membuat Aksa memaksakan diri agar terlihat baik-baik saja.

“Gak papa, Mak. Sakitnya sedikit, kok. Buktinya Aksa masih bisa lari ke klinik,” ujar Aksa berdusta.

Pandangan Aksa hampir mengabur, beruntung pintu klinik sudah berada di depan matanya. Seandainya Aksa perlu berjalan sedikit lebih jauh, mungkin ia sudah terkapar di bawah terik matahari. Tak sadarkan diri akibat lemas yang menyerang.

“Neng, tolongin ini cucu Emak.” Sosok paruh baya yang biasa dipanggil Mak Enah itu berjalan tergesa menghampiri salah satu perawat.

Aksa tersenyum simpul saat mendengar kata ‘cucu’. Ia telah dianggap cucu oleh semua nenek dan kakek di sini. Semua orang menyukainya, Aksa pun menyukainya.

“Mas Aksa!” Suara yang Aksa kenal membuatnya menoleh, manik matanya menangkap sosok perawat yang familiar dan satu sosok lainnya.

Sosok dengan jas putih yang membalut scrub biru tengah melamun dengan pandangan ke arah depan. Pandangan matanya tampak kosong dan wajahnya terlihat suram, tak menyadari keberadaan Aksa yang bersimbah darah.

“Loh, Aksa? Kamu kenapa?” Salah satu dokter senior mendatangi Aksa, menarik perhatian Kara yang sempat hanyut dalam lautan pikiran.

Netra mereka saling bersirobok untuk sesaat, sebelum Aksa memalingkan wajahnya.

“Emak gak sengaja ngelemparin batu, Dok,” Mak Enah menjawab, ekspresi wajahnya terlihat khawatir.

“Waduh,” kaget sang dokter. Ia lantas menoleh ke belakang, kemudian menyerukan satu nama, “Kara!”

“Mas, duduk dulu.” Atensi Aksa tertarik pada Laras, perawat muda yang sempat memanggilnya.

Tirai yang menjadi pembatas antara ranjang pasien di ruang tindakan ditarik. Aksa duduk di atas ranjang dengan Mak Enah yang menggenggam tangannya erat.

“Mak, Aksa gak papa. Nih, lihat, masih bisa ngedipin Emak,” guyon Aksa, berusaha mencairkan suasana.

Tampak Mak Enah menyunggingkan senyum. Aksa mengusap punggung tangan Mak Enah seraya terkikik.

“Permisi.” Sosok berjas putih yang menarik perhatian Aksa menyela.

Kara, datang dengan sebuah senyuman ramah. “Saya periksa dulu ya,” ujarnya sambil menghampiri Aksa.

Kontak mata yang terjalin membuat rasa canggung merayap dalam diri Aksa. Entah apa alasannya, Aksa tidak tahu. Mungkin karena mereka menghabiskan waktu selama tiga tahun di masa sekolah menengah atas yang jauh dari kata akur.

Kan, hidup ini memang dipenuhi hal di luar nalar. Sosok yang sering melempar berbagai macam benda ke kepala Aksa kini menjadi dokter yang mengobati luka di keningnya. Aksa bahkan masih mengingat Kara yang melempar buku ke kepalanya sembari berteriak lantang.

“Dibersihin dulu ya, lukanya. Nanti di—“ Kara melirik wanita paruh baya yang berada di samping Aksa. “Dijahit, sedikit aja kok,” lanjut Kara.

“Tuh kan, Mak. Sedikit doang,” ulang Aksa, meyakinkan Mak Enah.

Suara tirai yang dibuka terdengar. Laras muncul membawa troli instrumen. Kemudian, Kara bergegas menyiapkan alat tempurnya. Di tempatnya berada, Aksa dapat melihat perubahan ekspresi Kara yang menjadi lebih cerah.

Rasa sakit yang mulai menjalar mengalihkan fokus Aksa. Ia lantas mengajak Mak Enah mengobrol, menghabiskan waktu yang terasa lambat. Tatkala kapas dingin menempel tepat di lukanya, ringisan kecil terdengar.

Salah satu tangan Aksa menggenggam ujung ranjang dengan keras. Ia tak cukup kuat untuk menahan rasa sakit dan perih di saat yang bersamaan. Matanya tak berani menatap Kara yang berbinar menatap sebuah needle holder di tangannya.

Dalam hati, Aksa berdoa agar ia segera meminum obat pereda nyeri.

“Selesai.”

Perlu waktu yang agak lama untuk Aksa tersadar dari lamunan. Ia mengejapkan matanya, sebelum berdeham.

“Mak, ikut saya dulu, ya.” Laras berkata lembut seraya menarik Mak Enah pergi.

Aksa yang masih terdiam mengamati orang-orang di hadapannya. Manik matanya menangkap Kara yang membuka mulutnya, namun kembali ia tutup saat Laras meliriknya sekilas sebelum beranjak pergi.

Meninggalkan Aksa dan Kara yang terbuai oleh pikirannya masing-masing. Suasana aneh di antara Kara dan Laras mengingatkan Aksa kepada cerita Niko di pagi hari.

“Apa?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Kara membuat Aksa mengingatkannya pada sosok Kara yang ia kenal dulu.

“Lu kayaknya masih sama kayak dulu,” jawab Aksa.

“Lu juga masih sama kayak dulu.”

Dari cara Kara menatapnya, nada bicaranya, semuanya, masih sama. Sama-sama menyebalkan.

Tak ada yang perlu Aksa khawatirkan. Mereka tidak sedekat itu hingga Aksa harus mengkhawatirkan sosok di hadapannya.


“Laras,” panggil Aksa sebelum berjalan keluar dari klinik.

“Ya, Mas?”

Aksa terdiam untuk sesaat, menimang kata-kata yang hendak ia keluarkan.

“Tolong bilangin ke yang lain kalau Dokter Kara itu temen saya waktu SMA,” ujar Aksa dengan lidah yang sedikit kelu.

Lawan bicaranya tampak terkejut. “Iya toh, Mas? Saya gak tau!” bisik Laras.

“Kenapa Mas gak bilang dari kemarin? Saya kira Dokter Kara sebelas dua belas sama anak-anak PKL yang dulu ke sini loh! Jadi semua orang pada jaga jarak sama Dokter Kara, soalnya Mas tau sendiri kan waktu itu anak-anak PKL pada gak sopan sama warga di sini. Abisnya Dokter Kara ke sini tiba-tiba gitu loh, Mas. Yang lain kan pada ngira Dokter Kara itu dilempar dari tempat kerjanya gara-gara gak bener.” Panjang, lebar, dan cukup membuat Aksa pusing akibat Laras yang menjelaskan begitu cepat.

“Makanya sekarang harus sopan sama Dokter Kara. Dia itu kebanggaan sekolah saya dulu. Orangnya juga baik.” Aksa hampir menggigit lidahnya sendiri.

Selama mengenal Kara dalam hidupnya, Aksa tidak ingat kapan sosok itu berbuat baik padanya. Kara itu baik, kecuali pada Aksa.

“Intinya gitu. Saya mau pulang,” pamit Aksa, meninggalkan Laras yang masih memantung.

Di tengah perjalanannya keluar klinik, ia menyaksikan kembali Kara yang melamun di depan meja resepsionis. Aksa menyapa pegawai klinik dan berbisik meminta sobekan kerta kecil beserta plester. Menuliskan sesuatu di sana sebelum berjalan ke arah Kara.

Aksa diam sesaat di hadapan Kara yang kini menyadari keberadaannya.

“Apa?” tanya Kara.

Sosok yang dibalut kaus putih polos dan celana jeans mengembuskan napasnya kasar. Kepala Kara terdorong ke belakang ketika tangan Aksa menepuk keningnya agak keras.

“Jimat.”

Tanpa menjelaskan tindakan dan ucapannya, Aksa berjalan pergi. Meninggalkan Kara yang dilanda kebingungan. Ia kemudian melepas sesuatu yang terasa menempel di keningnya.

Temennya Aksa waktu sekolah, tolong ditemenin.

Menjalani hidup selama dua puluh delapan tahun, Gauri Shankara Erlangga telah melewati berbagai macam rintangan. Terkenal pemberani dan memiliki tekad yang tinggi, Kara mampu menghadapi berbagai macam kesulitan dan ketakutan yang selama ini terus mengekor dalam kehidupannya. Namun, tidak dengan makhluk tak kasat mata yang disebut sebagai hantu.

Dari sekian banyaknya hal menakutkan di dunia ini, hanya hantu yang mampu membuat tungkainya bergetar. Respon fisiologis* dari tubuhnya untuk mengeluarkan hasil metabolisme bernama urin membuatnya mau tak mau menelusuri rumah besar dengan suasana kelam. Sebuah panci yang ia pegang erat setia menemani perjalanannya menuju kamar mandi.

Pandangan matanya tajam, ia menelisik sekitar dengan seksama. Tubuhnya pun telah ia siapkan untuk mengayunkan panci sekeras mungkin andaikata sosok hantu menampakkan batang hidungnya walau mungkin sang hantu tidak berhidung.

Di tengah perjalanannya menuju kamar mandi yang berlangsung lama, Kara bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan yang mendesain rumah yang ia tempati dan menempatkan kamar mandi di bagian rumah paling belakang. Kara perlu melewati berbagai macam ruangan seraya menahan diri agar tidak mengompol di tengah jalan.

DUK

Langkah Kara terhenti seketika. Ia meneguk ludahnya dengan kasar. Panas menjulur di sekujur tubuh tatkala degup jantungnya meningkat akibat rasa takut. Setitik dorongan dalam dirinya membantu agar ia melanjutkan langkah. Kara tidak boleh berhenti di sini. Ia perlu ke kamar mandi, tak peduli apapun rintangan yang harus ia hadapi.

Tungkai yang mulai melemah berhasil melewati batas ruangan tengah dan dapur. Kamar mandi berada tepat di sebelah dapur, hanya perlu beberapa langkah lagi sebelum Kara berhasil sampai di tujuan. Embusan napas lega terdengar ketika Kara melihat pintu kamar mandi. Panci yang siap memukul hantu kini berada di samping tubuhnya.

Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu mendarat tepat di pundak kirinya. Hanya perlu waktu satu detik hingga teriakan terdengar, kemudian suara nyaring dari panci mengikuti setelahnya.

Dengan napas yang masih memburu, Kara perlahan membuka matanya. Di tengah remangnya pendar cahaya, Kara dapat melihat sosok lain yang sama-sama terkejut. Manik mata bulat milik Kara terpaku pada sosok di hadapannya. Rupa yang ia pandang tanpa berkedip, rasanya pernah ia temui.

“Samudra?”

“Santen?”

Kara mendengus kasar. Sudah lama semenjak ia mendengar panggilan menyebalkan yang keluar dari mulut sosok tersebut.

“Lu ngapain di sini?” Samudra, atau yang lebih sering dipanggil Aksa bertanya seraya mengambil panci yang tergeletak di atas lantai.

“Harusnya gua yang nanya. Lu ngapain di sini?” tanya Kara dengan kerutan tipis di kening.

“Untung gua berhasil ngehindar. Kalau nggak, ini panci udah kena muka gua,” ujar Aksa, tak menjawab pertanyaan Kara.

Kara melemparkan pandangannya asal, tak berani menatap Aksa. Merasa bersalah telah mengira Aksa sebagai hantu.

Dhanadyaksa Samudra yang Kara lihat di umur kedua puluh delapan tahun masih sama dengan sosok yang ia lihat di umur lima belas.

Masih terlihat sama-sama menyebalkan.

Note: *Fisiologis: bersifat fisiologi; berkenaan dengan fisiologi Fisiologi: cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat hidup (organ, jaringan, atau sel); ilmu faal

Amarah yang berkobar Juan lampiaskan pada pintu kamarnya. Manik mata yang berapi-api menelisik ruang tengah dengan seksama, mencari keberadaan biang kerok yang membuat emosinya bergejolak. Tak ada yang Juan temukan selain absensi Andrea di ruang tengah. Kepala Juan bergerak untuk memperluas pandangan. Atensinya tertarik pada sosok yang tengah berkutat di dapur.

Berada di puncak kekesalan, Juan mendengus tatkala menyadari bahwa Andrea sama sekali tidak mengindahkan keberadaannya. Tungkai kakinya melangkah untuk menghampiri Andrea. Dendam yang terkubur, kali ini Juan akan menumpahkannya pada pelaku yang membuat harinya buruk.

Sang tuan rumah berjalan di belakang Andrea untuk mengambil cangkir di rak. Setelah cangkir abu kesayangannya terambil, Juan kembali melangkah melewati Andrea yang baru saja mematikan kompor.

Bunyi tubuh yang saling bertabrakan terdengar di tengah keheningan. Juan, sengaja menyenggol Andrea sebagai pembalasan dendam. Butuh waktu beberapa detik sebelum dentingan alat makan terdengar. Andrea menyimpan sumpitnya saat berhasil mencerna perlakuan Juan padanya.

Hanya ada perasaan puas yang luar biasa ketika Juan menangkap kekosongan di wajah Andrea. Kedua netra lantas bersirobok untuk sesaat, sebelum Andrea mendekat. Menjambak rambut Juan sembari melotot tajam.

Hal yang tak Juan duga membuatnya bergerak secara impulsif. Ia membalas menjambak surai Andrea. Perkelahian berlangsung sengit, tak ada satupun dari mereka yang hendak mengalah dan menurunkan ego masing-masing. Tahap yang lebih serius terjadi, saat Andrea mendorong wajah Juan ke belakang hingga tubuh Juan ikut terdorong. Tak mau mengalah, Juan berusaha sekuat tenaga untuk membalikkan keadaan.

Menit pertama terlewati dengan pertarungan yang begitu intens. Namun, tepat pada awal menit kedua, petir menyambar tiba-tiba, menciptakan gemuruh yang keras. Dua anak Adam yang berkelahi pun terkejut, saling menarik tangan masing-masing.

Manik mata yang sama-sama membulat kembali bersirobok. Sunyi hadir sebagai penengah di antara mereka selama beberapa saat hingga tawa Andrea pecah.

“Muka lo lawak banget!” seru Andrea di tengah tawanya.

Setelah perkelahian yang mereka lewati, cukup aneh bagi Juan melihat lawannya tertawa terbahak-bahak. Namun, tak ada yang lebih aneh daripada Juan yang sama sekali tidak terganggu oleh tawa Andrea. Tubuhnya mamatung di hadapan Andrea, menyaksikan sosok yang menertawakannya tanpa berkedip.

Tawa yang mengalun memenuhi penjuru ruangan hilang dengan sekejap. Kelopak mata Andrea melebar, ia menyadari sesuatu yang janggal.

“MIE GUE!!!!!” pekik Andrea seraya berlari kencang.

Juan mengikuti Andrea di belakang. Di tempatnya berada, ia dapat melihat mie milik Andrea yang berukuran lebih besar dibandingkan sebelumnya.

“Bikin lagi aja,” ujar Juan.

“Gak. Mending gue makan aja daripada yang ini dibuang.” Dengan wajah yang masam, Andrea mengambil panci di atas kompor.

Melihat Andrea yang berjalan menuju sofa di depan televisi, Juan bergegas mengikutinya. Khawatir jika Andrea akan kembali membuat keributan.

“Gue kalau makan gak bisa kalau gak sambil nonton, kecuali kalau lo mau ngajak gue ngobrol,” jelas Andrea seraya mendudukkan diri.

Sosok yang lebih muda itu kemudian mendongak. “Lo mau?” tawar Andrea pada Juan.

Juan menatap mie rebus milik Andrea tanpa minat. Ia lantas menggeleng dan duduk di sebelah Andrea.

“Gue gak suka berbagi makanan,” jelas Juan, matanya tertuju pada layar televisi yang kini menyala.

Tentu saja Andrea tidak keberatan. Lagipula ia lebih suka menghabisi makanan miliknya sendirian.

“Ini gak ada netflix apa?“ tanya Andrea sebelum memasukkan mie ke dalam mulutnya.

“Gak ada. Gue gak suka nonton.” Juan menjawab, manik matanya kini tertuju pada panci yang berisi mie, seolah terhipnotis pada olahan tepung berwarna kuning itu.

“Payah.” Sosok di sampingnya merespons tanpa menatap Juan.

Suara pembawa acara berita terdengar, Andrea fokus pada televisi di hadapannya sembari menikmati mie rebus. Tangan kiri Andrea sibuk menekan remot, berusaha menemukan tontonan yang menarik.

Merasa terlalu sepi, Andrea menoleh pada Juan. Menangkap basah Juan yang menatap panci dengan binar pada kedua matanya. Andrea berdecih sebelum beranjak untuk mengambil sumpit lain di dapur.

“Temenin gue makan. Gue gak suka makan sendirian,” ujar Andrea begitu kembali ke tempatnya semula.

“Yaudah kalau lo maksa.” Juan mengambil sumpit dari tangan Andrea.

Satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut Juan. Meskipun makanannya terasa sedikit dingin dan lembek, ia tetap menikmatinya.

“Lo kalau makan mie suka langsung di pancinya?” tanya Juan.

Andrea mengangguk, netranya tertuju pada layar televisi. “Iya. Biar vibesnya kayak lagi di drakor,” jawabnya.

Tak ada kalimat yang terujar setelahnya. Sama dengan Andrea, Juan juga menikmati kegiatan makannya sembari menyaksikan tontonan kartun di televisi. Dua manusia yang telah melewati perkelahian sengit kini sibuk menonton Sofia the First.

Gemuruh petir mengalihkan perhatian Juan. Netranya menatap hujan lebat melalui jendela. Untuk sejenak, Juan terbuai dalam lamunan. Rangkaian memori di kepalanya terputar secara otomatis, menariknya pada kenangan yang ingin ia kubur.

Lagi-lagi ia melangkah mundur.

“Om.”

Jiwanya berada di masa lalu, berusaha menelusuri nostalgia sebanyak mungkin walau selalu berakhir pada pedih yang tak berujung.

“Pak.”

Tepukan keras pada lengan atasnya menarik paksa Juan dari lamunan. Ditatapnya Andrea dengan hampa.

“Jangan bengong mulu. Ntar kalau kesurupan gue yang repot.” Mulut ajaib Andrea membuat Juan lupa akan segala hal yang menumpuk dalam benak.

Juan sudah malas menanggapi Andrea. Ia hanya memberikan tatapan datarnya pada Andrea yang kini menyeruput kuah mie.

By the way, bener kata Bang Angga. Lo kelihatan gak kayak orang hidup. Pucet banget. Sekali-kali berjemur kek, ketemu matahari,” celoteh Andrea yang semakin terdengar menyebalkan di telinga Juan.

“Atau kalau males ntar gue jemurin deh di jemuran pake capitan itu apa sih namanya.” Andrea menggantung ucapannya sembari berpikir keras.

“Lo mending diem sebelum gue masukin ke mesin cuci.” Perkataan Juan berhasil membuat bibir Andrea mengatup secara otomatis.

Gemercik hujan menyela kala sunyi melanda. Dua manusia yang duduk bersebelahan terdiam, larut dalam lautan pikiran masing-masing. Tak ada canggung yang hadir, keduanya saling menikmati detik yang beralih menjadi menit.

“Om.” Andrea memecah keheningan, pandangannya lurus ke depan.

“Jangan panggil gue Om.”

“Siap, Pak.”

“Gue bukan bapak lo.”

“Ya udah, iya, Bang.”

Juan menoleh dengan kerutan halus di kening, mengundang Andrea untuk ikut menoleh. Sejumput jarak yang memisahkan mereka membuat netra Juan mampu menangkap wajah Andrea secara gamblang.

“Gak mau dipanggil Bang? Terus lo maunya dipanggil apa? Sayang?” Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Andrea tak lantas membuahkan jawaban dari Juan.

Di bawah rintik hujan, keduanya bercengkrama melalui tatapan mata. Mengamati roman yang belum pernah mereka lihat dari jarak yang intim. Meski enggan untuk mengakui, Juan dalam hati berterus terang pada dirinya, bahwa Andrea memiliki rupa yang elok. Ia menangkis pandangan terhadap Andrea dengan memukul kecil bibir sosok itu.

“Lo manggil gue mau sebagus apapun jadi kedengeran jelek terus di telinga gue,” ujar Juan sembari mengalihkan tatapannya.

“SAKIT!” Andrea, di sisi lain memegangi bibirnya seraya berteriak kencang.

Netra yang terpejam perlahan terbuka tatkala telinganya menangkap sebuah kebisingan. Kakinya seakan melangkah mundur pada masa lalu, saat kekasihnya di sini, saling menghabiskan waktu di tengah derasnya hujan. Juan beranjak dengan tergesa. Ia pernah berada dalam skenario ini sebelumnya. Ketika dunianya runtuh dan tubuhnya terasa remuk, sosok yang ia cintai datang hanya sekadar membuatkannya sup hangat. Senyuman manisnya menyapa, sebelum mendekap Juan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik.

Langkah Juan terhenti pada saat netranya menangkap sosok lain. Kering melanda kerongkongan, membuat satu nama yang ingin sekali terucap hanya tertahan di ujung lidah.

Kala netra lain tak sengaja bertemu dengan netranya, Juan menahan napas. Sebelum ia tersadar, bahwa sosok yang tengah ia lihat sekarang bukanlah sosok yang memenuhi benak.

“Loh? Om yang kemarin ngasih sapu tangan?”

Semesta seolah mengajaknya bergurau. Bahkan dalam mimpi pun, Juan tidak dipertemukan oleh sosok yang begitu ia rindukan.

“Beneran Om yang kemarin.”

Juan mengejapkan mata. Ia lantas mencubit tangannya untuk memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak.

“Hallo, Om! Kenalin, gue Andrea yang kemarin ngambil sapu tangan Om.” Sosok yang menurut Juan aneh itu mengulurkan tangannya dengan senyuman lebar di wajah.

Sosok yang kemarin menangis meraung-raung seakan dunia hendak berakhir detik itu juga kini tersenyum cerah. Meninggalkan Juan dalam kesedihan yang berlarut hingga ia enggan untuk sekadar menarik bibir membentuk senyuman tipis.

“Om?” Panggilan yang terdengar menyebalkan membuat Juan berdecak.

“Jangan panggil gue Om,” tegas Juan seraya berjalan menjauh, mengabaikan uluran tangan Andrea.

“Siap, Pak!”

Langkah Juan sempat terhenti kembali sebelum ia berusaha tak mengindahkan panggilan Andrea kepadanya. Ketika Juan duduk di sofa miliknya, ia dapat melihat Andrea yang juga ikut duduk tepat di samping Juan. Tatapan sinis Juan lemparkan pada Andrea. Ia lantas menggeser tubuhnya untuk duduk lebih jauh. Namun Andrea, tak menangkap maksud Juan dan kembali ikut menggeser tubuh.

“Gue mau langsung ke intinya. Kalau lo mau tinggal di sini, ada beberapa peraturan yang harus lo lakuin.” Juan membuka suara, berusaha mangabaikan eksistensi Andrea di sampingnya.

“Pertama, gue bakal nganggap lo gak ada dan lo juga harus nganggap gue gak ada. Gue mau kita hidup masing-masing. Jangan melibatkan gue ke dalam hidup lo. Kalau bisa jangan ngajak gue ngobrol. Lo boleh nanya, tapi gue gak bakal jawab pertanyaan yang sifatnya privasi.” Melalui ekor matanya, Juan melirik Andrea yang tak bergeming di tempat.

“Kedua, jangan berisik. Gue juga gak bakal berisik, jadi gue harap lo gak berisik sampai ganggu gue. Dan jangan pernah nyalain tv.” Juan melanjutkan ucapannya.

“Ketiga, jangan pernah masuk ke dalam kamar gue,” ujar Juan final.

“Ada pertanyaan?” Hening yang melanda membuat Juan menoleh. Andrea tampak terdiam dengan wajah yang datar.

“To be honest, gue gak suka tinggal sama orang lain. Apalagi sama orang yang gak gue kenal sama sekali. Jadi kalau lo keberatan, lo bisa langsung cari tempat tinggal lain.”

Masih tak ada jawaban dari sosok di sampingnya. Entah apa yang tengah sosok itu pikirkan, Juan tidak peduli.

“Oke.” Butuh beberapa detik untuk Andrea membuka mulutnya. Sosok yang kini menatap Juan kembali menampilkan sebuah senyuman.

“Gue setuju sama semua peraturan yang lo buat,” lanjut Andrea.

Senyuman yang Juan tangkap dengan manik matanya sangat jelas terlihat dipaksakan. Namun lagi-lagi, Juan tidak peduli.

Sepasang netra sayu memandang keluar jendela. Mengamati suasana malam di tengah kerumunan kecamuk dalam pikiran melanda. Iris kecoklatannya yang meredup memerhatikan lalu lalang kendaraan secara acak.

“Jordy, lu pernah gak pengen jadi orang lain?” Bibir ranum yang sedikit pucat akhirnya terbuka untuk bersuara.

Tak ada balasan dari Jordy. Sosok manajernya itu tengah berkutat dengan panggilan alam di toilet. Embusan napas keluar dari mulut Jose. Pikirannya kembali menjelajah kesana kemari dan tak sengaja melangkah pada serangkaian memori. Jose tersenyum kecil mengingat hari-hari yang ia lewati di sebuah vila antah berantah.

“I feel so empty,” bisiknya pada diri sendiri.

“Gua kayaknya abis ini mau adopt kitten atau puppy,” lanjut Jose, masih menaruh atensinya pada lalu lalang kendaraan.

Waktu yang tersisa hari ini tinggal sedikit. Mungkin kumpulan menit akan segera mengubah arah jarum pendek jam yang menempel pada dinding. Kemudian Jose, menghabiskan sisa waktunya hari ini untuk tenggelam dalam lamunan.

Bulu mata lentik yang menghiasi wajahnya bergerak tatkala ia berkedip. Jose menggelengkan kepala, ia harus segera makan dan pulang. Tubuhnya sudah terlampau lelah dan ia sangat butuh tidur.

Jose lantas menggerakkan kepalanya untuk menatap ke depan. Napasnya tercekat ketika ia melihat sosok lain yang duduk di kursi Jordy. Sosok yang bersemayam di dalam pikirannya, yang menimbulkan rasa sakit di dada acap kali rupanya terlintas di sana.

Bahkan dalam imajinasinya, Aby terlihat begitu memukau, membuat Jose berdegup kencang hanya karena bayangannya yang terlihat begitu nyata.

Tangan kanan Jose terulur untuk menyentuh bayangan Aby. Rasanya hangat. Tatkala jemarinya berada di permukaan pipi Aby, Jose dapat merasakan kehangatan, seolah sosok hadapannya adalah sosok yang nyata.

Manik mata Jose melebar, tepat ketika tangan Aby menyentuh tangannya. Membawa telapak tangan milik Jose ke dalam kecupan.

“Aby?” panggil Jose, memastikan jika sosok di hadapannya benar-benar Aby.

“Jose.”

Suara yang Jose rindukan menggelitik masuk ke dalam telinganya. Jose beranjak berdiri. Kakinya melangkah tergesa menghampiri Aby.

“Hai,” sapa Aby dengan sebuah senyuman yang terpatri.

Sekonyong-konyong, keadaan di sekitar menjadi lebih terang. Jose menatap sekeliling, kemudian menemukan sekumpulan orang yang berjalan ke arahnya seraya membawa kue.

“Happy birthday Jose, happy birthday Jose.” Mereka bernyanyi serentak, menyadarkan Jose bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Wajah-wajah yang Jose kenal tertangkap oleh lensa matanya. Mulai dari sang ibu, Rully, Dzacky yang tidak terlalu penting, Jordy yang juga sama tidak pentingnya dengan Dzacky, Cello, hingga satu sosok yang membuat Jose berlari kencang.

“Azriel!” seru Jose begitu ia membawa Azriel ke dalam dekapan.

“Gua kangen banget sama lu, Bocil!”

“Gua juga kangen banget sama Kak Jose!”

Jose melepaskan pelukannya sembari terkekeh.

“Tiup dulu lilinnya.” Suara Rully mengalihkan atensi Jose.

Sebelum meniup lilin, kelopak matanya terpejam. Merapalkan harapan dalam hati, semoga ia akan selalu bahagia bersama orang-orang yang tengah mengelilinginya.

Tepuk tangan heboh terdengar ketika Jose berhasil meniup lilin. Senyuman lebar menghiasi wajah Jose. Lelah yang sempat menggerogoti tubuhnya hilang entah kemana.

“Ini sejak kapan kalian saling kenal?” tanya Jose pada teman-temannya dan Aby.

“Seminggu yang lalu ada kali. Gua tiba-tiba dihubungi sama fans nomor satu lu,” jawab Rully seraya menunjuk Azriel.

“Gua humasnya hehe. Kalau rencana bikin lu balik dan kesel sama Aby tuh rencananya Mami.” Kali ini giliran Azriel yang menjelaskan.

Alis Jose saling bertaut. Sejak kapan Azriel mengenal sang ibu hingga memanggilnya ‘Mami’?

“Azriel sama Mami udah kenal dari lama. Ada kali enam bulan yang lalu, ya? Jadi ibunya Gyan itu temen Mami. Terus Mami dikasih kalau mereka punya vila, yaudah Mami kirim aja kamu ke sana biar ketemu Gyan. Soalnya dari awal Mami udah suka sama Gyan. Udah sopan, baik, pinter, ganteng lagi. Udah cocok jadi calon mantu.” Sosok paling tua di sana ikut memaparkan petemuannya dengan Aby dan Azriel sesingkat mungkin.

“Jadi selama ini kalian kenal?!” Jose mencebik sembari menatap ibunya dan Aby bergantian.

Ekspresi kesal yang tercetak di wajah Jose perlahan berubah tatkala Aby berjalan mendekat. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut orang lain dapat mendengarnya. Jose kesulitan bergerak saat Aby sudah berada di depannya, mendekat lebih intim kepada Jose. Mata Jose sontak terpejam. Sekon terlewati dan tak ada yang kunjung menyentuh bibirnya.

Kelopak mata Jose kembali terbuka. Ia dapat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lehernya.

“Your birthday present,” ujar Aby.

Jose menyentuh kalung pemberian Aby. Bibirnya kembali tertarik untuk membentuk sebuah senyuman. “Thank you,” ucap Jose.

“Anytime.”

Malam ini, Aby tampak begitu memesona dengan setelan jas berwarna navy yang membalut tubuhnya. Dan Jose, dapat merasakan jantungnya menggila. Hanya dengan netra yang saling bercengkerama, rona merah menjalar di pipi Jose.

“I’m sorry. I didn’t mean to hurt you. Gua disuruh jauhin lu biar lu lupa kalau bentar lagi lu ulang tahun,” jelas Aby.

That’s okay. Walau gua galau banget karena ngerasa udah ditinggalin bahkan sebelum pacaran,” respons Jose seraya terkekeh.

“Emang kita belum pacaran?” tanya Aby, kerutan halus muncul di keningnya.

“Emang udah?” Jose balik bertanya.

Keberadaan dari sosok-sosok lain yang merasa tak dianggap satu-persatu menjauhi Aby dan Jose. Tak ingin menganggu kedua pasangan yang belum resmi menjadi sepasang kekasih.

“Kalau gitu let me ask you. Kiss me if you want me to be your boyfriend.

“That’s not even a question!” Jose mengeluarkan protes, namun ia tetap mempertahankan senyumannya.

Satu langkah hingga sepatu mereka saling bersentuhan dan satu detik hingga bibir Jose mendarat tepat di bibir Aby.

I love you,” bisik Jose setelah berhasil mengecup Aby.

“I love you more,” ucap Aby sebelum kembali menyatukan bibir mereka, membawa Jose ke dalam ciuman yang lebih dalam.

Sepasang netra sayu memandang keluar jendela. Mengamati suasana malam di tengah kerumunan kecamuk dalam pikiran melanda. Iris kecoklatannya yang meredup memerhatikan lalu lalang kendaraan secara acak.

“Jordy, lu pernah gak pengen jadi orang lain?” Bibir ranum yang sedikit pucat akhirnya terbuka untuk bersuara.

Tak ada balasan dari Jordy. Sosok manajernya itu tengah berkutat dengan panggilan alam di toilet. Embusan napas keluar dari mulut Jose. Pikirannya kembali menjelajah kesana kemari dan tak sengaja melangkah pada serangkaian memori. Jose tersenyum kecil mengingat hari-hari yang ia lewati di sebuah vila antah berantah.

“I feel so empty,” bisiknya pada diri sendiri.

“Gua kayaknya abis ini mau adopt kitten atau puppy,” lanjut Jose, masih menaruh atensinya pada lalu lalang kendaraan.

Waktu yang tersisa hari ini tinggal sedikit. Mungkin kumpulan menit akan segera mengubah arah jarum pendek jam yang menempel pada dinding. Kemudian Jose, menghabiskan sisa waktunya hari ini untuk tenggelam dalam lamunan.

Bulu mata lentik yang menghiasi wajahnya bergerak tatkala ia berkedip. Jose menggelengkan kepala, ia harus segera makan dan pulang. Tubuhnya sudah terlampau lelah dan ia sangat butuh tidur.

Jose lantas menggerakkan kepalanya untuk menatap ke depan. Napasnya tercekat ketika ia melihat sosok lain yang duduk di kursi Jordy. Sosok yang bersemayam di dalam pikirannya, yang menimbulkan rasa sakit di dada acap kali rupanya terlintas di sana.

Bahkan dalam imajinasinya, Aby terlihat begitu memukau, membuat Jose berdegup kencang hanya karena bayangannya yang terlihat begitu nyata.

Tangan kanan Jose terulur untuk menyentuh bayangan Aby. Rasanya hangat. Tatkala jemarinya berada di permukaan pipi Aby, Jose dapat merasakan kehangatan, seolah sosok hadapannya adalah sosok yang nyata.

Manik mata Jose melebar, tepat ketika tangan Aby menyentuh tangannya. Membawa telapak tangan milik Jose ke dalam kecupan.

“Aby?” panggil Jose, memastikan jika sosok di hadapannya benar-benar Aby.

“Jose.”

Suara yang Jose rindukan menggelitik masuk ke dalam telinganya. Jose beranjak berdiri. Kakinya melangkah tergesa menghampiri Aby.

“Hai,” sapa Aby dengan sebuah senyuman yang terpatri.

Sekonyong-konyong, keadaan di sekitar menjadi lebih terang. Jose menatap sekeliling, kemudian menemukan sekumpulan orang yang berjalan ke arahnya seraya membawa kue.

“Happy birthday Jose, happy birthday Jose.” Mereka bernyanyi serentak, menyadarkan Jose bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Wajah-wajah yang Jose kenal tertangkap oleh lensa matanya. Mulai dari sang ibu, Rully, Dzacky yang tidak terlalu penting, Jordy yang juga sama tidak pentingnya dengan Dzacky, Cello, hingga satu sosok yang membuat Jose berlari kencang.

“Azriel!” seru Jose begitu ia membawa Azriel ke dalam dekapan.

“Gua kangen banget sama lu, Bocil!”

“Gua juga kangen banget sama Kak Jose!”

Jose melepaskan pelukannya sembari terkekeh.

“Tiup dulu lilinnya.” Suara Rully mengalihkan atensi Jose.

Sebelum meniup lilin, kelopak matanya terpejam. Merapalkan harapan dalam hati, semoga ia akan selalu bahagia bersama orang-orang yang tengah mengelilinginya.

Tepuk tangan heboh terdengar ketika Jose berhasil meniup lilin. Senyuman lebar menghiasi wajah Jose. Lelah yang sempat menggerogoti tubuhnya hilang entah kemana.

“Ini sejak kapan kalian saling kenal?” tanya Jose pada teman-temannya dan Aby.

“Seminggu yang lalu ada kali. Gua tiba-tiba dihubungi sama fans nomor satu lu,” jawab Rully seraya menunjuk Azriel.

“Gua humasnya hehe. Kalau rencana bikin lu balik dan kesel sama Aby tuh rencananya Mami.” Kali ini giliran Azriel yang menjelaskan.

Alis Jose saling bertaut. Sejak kapan Azriel mengenal sang ibu hingga memanggilnya ‘Mami’?

“Azriel sama Mami udah kenal dari lama. Ada kali enam bulan yang lalu, ya? Jadi ibunya Gyan itu temen Mami. Terus Mami dikasih kalau mereka punya vila, yaudah Mami kirim aja kamu ke sana biar ketemu Gyan. Soalnya dari awal Mami udah suka sama Gyan. Udah sopan, baik, pinter, ganteng lagi. Udah cocok jadi calon mantu.” Sosok paling tua di sana ikut memaparkan petemuannya dengan Aby dan Azriel sesingkat mungkin.

“Jadi selama ini kalian kenal?!” Jose mencebik sembari menatap ibunya dan Aby bergantian.

Ekspresi kesal yang tercetak di wajah Jose perlahan berubah tatkala Aby berjalan mendekat. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut orang lain dapat mendengarnya. Jose kesulitan bergerak saat Aby sudah berada di depannya, mendekat lebih intim kepada Jose. Mata Jose sontak terpejam. Sekon terlewati dan tak ada yang kunjung menyentuh bibirnya.

Kelopak mata Jose kembali terbuka. Ia dapat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lehernya.

“Your birthday present,” ujar Aby.

Jose menyentuh kalung pemberian Aby. Bibirnya kembali tertarik untuk membentuk sebuah senyuman. “Thank you,” ucap Jose.

“Anytime.”

Malam ini, Aby tampak begitu memesona dengan setelan jas berwarna navy yang membalut tubuhnya. Dan Jose, dapat merasakan jantungnya menggila. Hanya dengan netra yang saling bercengkerama, rona merah menjalar di pipi Jose.

“I’m sorry. I didn’t mean to hurt you. Gua disuruh jauhin lu biar lu lupa kalau bentar lagi lu ulang tahun,” jelas Aby.

That’s okay. Walau gua galau banget karena ngerasa udah ditinggalin bahkan sebelum pacaran,” respons Jose seraya terkekeh.

“Emang kita belum pacaran?” tanya Aby, kerutan halus muncul di keningnya.

“Emang udah?” Jose balik bertanya.

Keberadaan dari sosok-sosok lain yang merasa tak dianggap satu-persatu menjauhi Aby dan Jose. Tak ingin menganggu kedua pasangan yang belum resmi menjadi sepasang kekasih.

“Kalau gitu let me ask you. Kiss me if you want me to be your boyfriend.

“That’s not even a question!” Jose mengeluarkan protes, namun ia tetap mempertahankan senyumannya.

Satu langkah hingga sepatu mereka saling bersentuhan dan satu detik hingga bibir Jose mendarat tepat di bibir Aby.

I love you,” bisik Jose setelah berhasil mengecup Aby.

“I love you more,” ucap Aby sebelum kembali menyatukan bibir mereka, membawa Jose ke dalam ciuman yang lebih dalam.

Ingar bingar yang menjadi latar suara menarik bibir tipis untuk tersenyum. Sepasang netra bulatnya menjelajah lautan manusia, mencari satu sosok yang bersemayam dalam pikiran. Satu dua guyonan yang tak sengaja ia dengar mampu membuatnya terkekeh di tengah kegelisahan yang melanda.

“Still looking for him?” Jose menoleh pada sumber suara, menemukan Kevin yang membawa piring kecil berisi daging.

“Emang kelihatan banget ya?” Alih-alih menjawab, Jose balik bertanya.

Pendar dari banyaknya lampu yang menyala memperlihatkan senyuman Kevin dengan jelas. Sosok yang dibalut jaket kemudian mengulurkan tangannya pada Jose, mempersilahkan Jose untuk menyantap daging yang ia bawa.

“Thanks,” ujar Jose.

“What do you think about him?” Mulut yang sibuk mengunyah terhenti sesaat guna melontarkan kembali pertanyaan.

“What do I think about him?” ulang Kevin sembari menatap sekumpulan orang yang menari heboh.

You know, hampir semua orang yang gua suka itu brengsek. But I really think he’s different.” Jose mengatupkan bibir tatkala manik matanya menemukan sosok yang ia cari.

“Or maybe I just want him to be different from any others men I dated before,” lanjut Jose.

“Termasuk gua?” Sontak, atensi Jose beralih pada Kevin yang menatapnya jahil.

Kerutan halus di kening Jose tercipta, ia tampak berpikir hingga menciptakan jeda keheningan di antara mereka.

“Iya. Soalnya lu sama gua kan putus. Gua gak mau putus sama Aby. I want him to be the last person I like,” jawab Jose tanpa ragu.

“Wow. That dude is lucky.”

Ekspresi wajah Kevin yang menurut Jose lucu membuat sosok yang mengenakan hoodie tertawa lepas. Ia tak tahu jika sosok lain tengah memerhatikannya dengan intens.

“Let me help you,” ujar Kevin tiba-tiba.

“Hm?”

Jose tak bergeming di tempat saat Kevin merapikan helaian rambutnya.

“Kenapa?” tanya Jose kebingungan.

Kedipan mata sebagai jawaban dari Kevin membuat Jose semakin bingung, sebelum Jose merasakan kedatangan sosok lain.

“Jose.”

Mendengar namanya dipanggil, Jose tak lantas menoleh. Ia membeku di tempat, sementar Kevin tengah menahan senyuman geli.

“Jose.” Kali ini Kevin yang memanggil namanya, memaksa Jose untuk bergerak kaku. “Ya?”

“Itu,” tunjuk Kevin kepada Aby.

Sosok yang sempat terdiam lantas membalikkan tubuhnya. Jose menatap Aby sembari mengejapkan mata.

“Kenapa?” Dalam hati, Jose mengutuk suaranya yang tercekat hingga terdengar seperti domba yang tercekik.

Di sisi lain, Aby sebenarnya tak tahu apa yang akan ia bicarakan dengan Jose. Tungkai kakinya berjalan begitu saja menghampiri Jose ketika menyaksikan Kevin menyentuh Jose.

“Kalau mau nambah dagingnya, ambil aja di sana. Masih banyak,” ujar Aby setelah memutar otaknya untuk mencari topik pembicaraan.

Merasakan atmosfer canggung, Kevin ingin menepuk kening. Manik matanya bersirobok dengan Aby yang berancang pergi. Kevin menepuk bahu Jose, menyadarkannya dari lamunan.

“Tunggu!” Jose berseru tiba-tiba, menghentikan Aby yang hampir kabur.

“Lu mau kemana? Gua ikut,” ucap Jose sembari berjalan mendekat ke arah Aby.


Bibir tipis yang sedikit kering mengeluarkan asap seiring dengan menurunnya suhu di malam hari. Hadir setitik binar pada kedua netra Jose tatkala ia menyaksikan pemandangan vila dari atas.

“Woah cakep banget,” bisik Jose, tubuhnya ia sandarkan pada pagar balkon.

Setelah merasa cukup memandangi indahnya suasana malam, Jose membalikkan tubuh. Ditatapnya Aby dengan senyuman manis yang menghasi.

Aby termangu untuk sesaat, kala manik matanya menangkap basah sepasang netra elok yang terpaku padanya.

“Do you still like him?” Pertanyaan yang memenuhi benak Aby keluar begitu saja tanpa dapat ditahan lebih lama.

Semilir angin yang menerpa membuat Jose merapatkan tubuhnya. Ia tak lantas menjawab pertanyaan Aby.

“I still like him.” Jose mengangguk.

“Mantan gua semuanya pengen macarin gua cuman buat fame, money, atau hal lainnya yang menguntungkan mereka. Kevin was different. He loved me and treated me so well. That’s why I still like him until now.”

“Tapi beda sukanya. Sekarang lebih ke suka sebagai temen? Platonically? Kayak gua suka ke Azriel,” imbuh Jose yang diakhiri dengen kekehan.

“But why your relationship with him didn’t last longer?” tanya Aby.

Senyuman yang terpatri di wajah Jose perlahan luntur. Bibirnya terkatup rapat, sukar untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Aby, sebab kenangan yang tak menyenangkan datang begitu saja.

He’s too kind for me. Gua sering denger orang bilang kalau gua gak pantes buat Kevin dan dulu gua setuju sih. I mean, he should date someone better than me. I don’t think I deserve him and all of his kindnesses. Kevin tuh kayak Ibu Peri sedangkan gua penjahatnya.“

“Pandangan orang ke gua jelek banget. Gua kelihatan kasar karena ya, dari semua kontroversi gua sebagai aktor kebanyakan masalah kepribadian gua yang jelek. Dari mulai ketauan ngatain mantan-mantan gua yang brengsek, maki-maki mereka sampai yang terakhir tuh mukul salah satu dari mereka.” Jose menjelaskan, kepalanya mendongak ke atas.

Hanya terdapat satu bintang di hamparan gelapnya langit malam. Merasa semakin kedinginan, Jose memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie. Ia kemudian beralih menatap lawan bicaranya yang masih mengatupkan bibir.

“Kadang gua mikir, kenapa gua pengen terus jatuh cinta padahal gua tau kalau akhirnya gua bakal disakitin? Orang lain ngiranya karena gua some kind of player? Gua sebenernya pengen berhenti suka sama orang lain, tapi harapan gua buat ketemu orang yang bener-bener bakal sayang sama gua jauh lebih besar,” ungkap Jose, menyampaikan asa yang selalu terpendam.

Sepasang netra yang memandang Aby beralih menatap sepatu yang ia kenakan. Jose menggigit bibir bawahnya.

“And I hope it’s you. I really tired falling in love with people who didn’t love me as much as I love them,” bisik Jose.

“Gua juga.”

Kelopak mata Jose melebar. Ia kemudian mendongak, menemukan Aby yang sudah berada di hadapannya.

“I hope I can be your Mr. Right,” imbuh Aby seraya melukiskan senyum.

Kedua tangan Aby terulur untuk memegang pipi Jose yang dingin.

I used to hate cold, tapi kalau dipikir-pikir it isn’t really that bad,” ujar Jose jenaka sembari memperlihatkan deretan gigi rapinya pada Aby.

Kemudian, Aby menarik Jose ke dalam pelukan, menyalurkan hangat pada sosok yang tengah kedinginan.

“Sekarang gua mau fokus sama hal-hal yang bikin gua bahagia. Gua gak mau lagi ngelepas sosok yang sayang sama gua gara-gara orang lain.” Jose berkata sembari menghirup aroma tubuh Aby yang memanjakan hidungnya.

So Mr. Right, kapan mau jadiin gua pacar?” tanya Jose, menarik sedikit dirinya dari Aby untuk menatap sepasang netra yang terbelalak.

Tawa Jose pecah melihat ekspresi Aby. Namun, tawanya tak berlangsung lama karena setelahnya Aby berucap, “Gua belum putusin Elizabeth.”

“Lu pacaran sama kuda?” tanya Jose dongkol.

Kali ini, Aby yang tersenyum geli melihat ekspresi masam Jose. Ia mengusap pipi Jose dengan lembut.

“Your lips seem dry, want a kiss?” tawar Aby.

No. Gua gak mau ciuman sama pacar Elizabeth,” tolak Jose seraya menyipitkan mata.

“Yaudah.”

“Mau.”

“Katanya gak mau?”

Sebelum Jose kembali merajuk, Aby lebih dulu mencuri kesempatan untuk mencium bibir Jose.

Ingar bingar yang menjadi latar suara menarik bibir tipis untuk tersenyum. Sepasang netra bulatnya menjelajah lautan manusia, mencari satu sosok yang bersemayam dalam pikiran. Satu dua guyonan yang tak sengaja ia dengar mampu membuatnya terkekeh di tengah kegelisahan yang melanda.

“Still looking for him?” Jose menoleh pada sumber suara, menemukan Kevin yang membawa piring kecil berisi daging.

“Emang kelihatan banget ya?” Alih-alih menjawab, Jose balik bertanya.

Pendar dari banyaknya lampu yang menyala memperlihatkan senyuman Kevin dengan jelas. Sosok yang dibalut jaket kemudian mengulurkan tangannya pada Jose, mempersilahkan Jose untuk menyantap daging yang ia bawa.

“Thanks,” ujar Jose.

“What do you think about him?” Mulut yang sibuk mengunyah terhenti sesaat guna melontarkan kembali pertanyaan.

“What do I think about him?” ulang Kevin sembari menatap sekumpulan orang yang menari heboh.

You know, hampir semua orang yang gua suka itu brengsek. But I really think he’s different.” Jose mengatupkan bibir tatkala manik matanya menemukan sosok yang ia cari.

“Or maybe I just want him to be different from any others men I dated before,” lanjut Jose.

“Termasuk gua?” Sontak, atensi Jose beralih pada Kevin yang menatapnya jahil.

Kerutan halus di kening Jose tercipta, ia tampak berpikir hingga menciptakan jeda keheningan di antara mereka.

“Iya. Soalnya lu sama gua kan putus. Gua gak mau putus sama Aby. I want him to be the last person I like,” jawab Jose tanpa ragu.

“Wow. That dude is lucky.”

Ekspresi wajah Kevin yang menurut Jose lucu membuat sosok yang mengenakan hoodie tertawa lepas. Ia tak tahu jika sosok lain tengah memerhatikannya dengan intens.

“Let me help you,” ujar Kevin tiba-tiba.

“Hm?”

Jose tak bergeming di tempat saat Kevin merapikan helaian rambutnya.

“Kenapa?” tanya Jose kebingungan.

Kedipan mata sebagai jawaban dari Kevin membuat Jose semakin bingung, sebelum Jose merasakan kedatangan sosok lain.

“Jose.”

Mendengar namanya dipanggil, Jose tak lantas menoleh. Ia membeku di tempat, sementar Kevin tengah menahan senyuman geli.

“Jose.” Kali ini Kevin yang memanggil namanya, memaksa Jose untuk bergerak kaku. “Ya?”

“Itu,” tunjuk Kevin kepada Aby.

Sosok yang sempat terdiam lantas membalikkan tubuhnya. Jose menatap Aby sembari mengejapkan mata.

“Kenapa?” Dalam hati, Jose mengutuk suaranya yang tercekat hingga terdengar seperti domba yang tercekik.

Di sisi lain, Aby sebenarnya tak tahu apa yang akan ia bicarakan dengan Jose. Tungkai kakinya berjalan begitu saja menghampiri Jose ketika menyaksikan Kevin menyentuh Jose.

“Kalau mau nambah dagingnya, ambil aja di sana. Masih banyak,” ujar Aby setelah memutar otaknya untuk mencari topik pembicaraan.

Merasakan atmosfer canggung, Kevin ingin menepuk kening. Manik matanya bersirobok dengan Aby yang berancang pergi. Kevin menepuk bahu Jose, menyadarkannya dari lamunan.

“Tunggu!” Jose berseru tiba-tiba, menghentikan Aby yang hampir kabur.

“Lu mau kemana? Gua ikut,” ucap Jose sembari berjalan mendekat ke arah Aby.


Bibir tipis yang sedikit kering mengeluarkan asap seiring dengan menurunnya suhu di malam hari. Hadir setitik binar pada kedua netra Jose tatkala ia menyaksikan pemandangan vila dari atas.

“Woah cakep banget,” bisik Jose, tubuhnya ia sandarkan pada pagar balkon.

Setelah merasa cukup memandangi indahnya suasana malam, Jose membalikkan tubuh. Ditatapnya Aby dengan senyuman manis yang menghasi.

Aby termangu untuk sesaat, kala manik matanya menangkap basah sepasang netra elok yang terpaku padanya.

“Do you still like him?” Pertanyaan yang memenuhi benak Aby keluar begitu saja tanpa dapat ditahan lebih lama.

Semilir angin yang menerpa membuat Jose merapatkan tubuhnya. Ia tak lantas menjawab pertanyaan Aby.

“I still like him.” Jose mengangguk.

“Mantan gua semuanya pengen macarin gua cuman buat fame, money, atau hal lainnya yang menguntungkan mereka. Kevin was different. He loved me and treated me so well. That’s why I still like him until now.”

“Tapi beda sukanya. Sekarang lebih ke suka sebagai temen? Platonically? Kayak gua suka ke Azriel,” imbuh Jose yang diakhiri dengen kekehan.

“But why your relationship with him didn’t last longer?” tanya Aby.

Senyuman yang terpatri di wajah Jose perlahan luntur. Bibirnya terkatup rapat, sukar untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Aby, sebab kenangan yang tak menyenangkan datang begitu saja.

He’s too kind for me. Gua sering denger orang bilang kalau gua gak pantes buat Kevin dan dulu gua setuju sih. aI mean, he should date someone better than me. I don’t think I deserve him and all of his kindnesses._ Kevin tuh kayak Ibu Peri sedangkan gua penjahatnya.“

“Pandangan orang ke gua jelek banget. Gua kelihatan kasar karena ya, dari semua kontroversi gua sebagai aktor kebanyakan masalah kepribadian gua yang jelek. Dari mulai ketauan ngatain mantan-mantan gua yang brengsek, maki-maki mereka sampai yang terakhir tuh mukul salah satu dari mereka.” Jose menjelaskan, kepalanya mendongak ke atas.

Hanya terdapat satu bintang di hamparan gelapnya langit malam. Merasa semakin kedinginan, Jose memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie. Ia kemudian beralih menatap lawan bicaranya yang masih mengatupkan bibir.

“Kadang gua mikir, kenapa gua pengen terus jatuh cinta padahal gua tau kalau akhirnya gua bakal disakitin? Orang lain ngiranya karena gua some kind of player? Gua sebenernya pengen berhenti suka sama orang lain, tapi harapan gua buat ketemu orang yang bener-bener bakal sayang sama gua jauh lebih besar,” ungkap Jose, menyampaikan asa yang selalu terpendam.

Sepasang netra yang memandang Aby beralih menatap sepatu yang ia kenakan. Jose menggigit bibir bawahnya.

“And I hope it’s you. I really tired falling in love with people who didn’t love me as much as I love them,” bisik Jose.

“Gua juga.”

Kelopak mata Jose melebar. Ia kemudian mendongak, menemukan Aby yang sudah berada di hadapannya.

“I hope I can be your Mr. Right,” imbuh Aby seraya melukiskan senyum.

Kedua tangan Aby terulur untuk memegang pipi Jose yang dingin.

I used to hate cold, tapi kalau dipikir-pikir it isn’t really that bad,” ujar Jose jenaka sembari memperlihatkan deretan gigi rapinya pada Aby.

Kemudian, Aby menarik Jose ke dalam pelukan, menyalurkan hangat pada sosok yang tengah kedinginan.

“Sekarang gua mau fokus sama hal-hal yang bikin gua bahagia. Gua gak mau lagi ngelepas sosok yang sayang sama gua gara-gara orang lain.” Jose berkata sembari menghirup aroma tubuh Aby yang memanjakan hidungnya.

So Mr. Right, kapan mau jadiin gua pacar?” tanya Jose, menarik sedikit dirinya dari Aby untuk menatap sepasang netra yang terbelalak.

Tawa Jose pecah melihat ekspresi Aby. Namun, tawanya tak berlangsung lama karena setelahnya Aby berucap, “Gua belum putusin Elizabeth.”

“Lu pacaran sama kuda?” tanya Jose dongkol.

Kali ini, Aby yang tersenyum geli melihat ekspresi masam Jose. Ia mengusap pipi Jose dengan lembut.

“Your lips seem dry, want a kiss?” tawar Aby.

No. Gua gak mau ciuman sama pacar Elizabeth,” tolak Jose seraya menyipitkan mata.

“Yaudah.”

“Mau.”

“Katanya gak mau?”

Sebelum Jose kembali merajuk, Aby lebih dulu mencuri kesempatan untuk mencium bibir Jose.