Perihal Hidup yang Lebih Baik
Derap langkah kaki menyelingi suara yang dipenuhi antusiasme. Lengan kemeja biru mudanya digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan bermerek pemberian dari sosok yang menimpalinya lewat sambungan telepon. Hari ini berjalan dengan sangat baik hingga Kara tersenyum sepanjang perjalanan pulang.
“Padahal kemarin aku ngerasa gak diterima banget di sini. Aku udah overthinking, takut kedepannya makin lebih buruk, tapi ternyata cuman butuh sehari aja buat orang-orang di klinik berubah jadi baik,” ujar Kara penuh semangat.
“Hari ini aku meriksa banyak pasien. Aku juga ngobrol banyak sama orang-orang di klinik,” lanjutnya.
Tungkai kakinya berhenti di samping pagar rumah yang kini ia tempati. Kara menengadahkan kepala, menatap jingga yang membentang luas. Bahkan langit di sore hari pun tampak lebih menawan.
“You sound happy.”
Kara dengan spontan mengangguk, meski ia tahu Noah tak dapat melihatnya.
“I am.”
Awalnya, hanya ada keraguan ketika Kara menginjakkan kakinya di tempat yang asing. Tapi ternyata, tempat yang tengah ia pijak saat ini tidak terlalu buruk. Kara dapat bernapas sejenak dari semuanya, terutama dari berbagai tuntutan yang menyesakkan dada.
“That’s bad.” Perkataan dari lawan bicaranya melunturkan senyuman yang terlukis di wajah Kara.
“Kamu gak ada rencana buat tinggal di situ selamanya, kan?”
Harinya baik, sudah sangat baik, dan seharusnya berakhir dengan baik. Namun, ekspektasinya runtuh dan bercerai berai oleh pertanyaan dari sosok yang menempati kekosongan hati.
“Let’s not talk about this,” pinta Kara dengan nada hambar, kesenangannya meluap begitu saja.
“Gimana sama sekolah kamu? Gak mungkin kan kamu gak ngelanjutin spesialis kamu di sini?” Lagi-lagi Noah bertanya.
“You must be here, Shaka. You still have time to apologise for the things that you did.”
Kara menggenggam ponselnya dengan erat seraya memejamkan mata. Harinya kini berubah menjadi buruk.
“Lagian dunia kerja itu emang kayak gitu. Gak semuanya harus sesuai sama yang kamu mau. Kamu harus tunduk sama orang di atas kamu and that’s how you survive. Everyone does it, Shaka. I do the same, everyone does the same. Everyone but you.”
Jeda yang diisi keheningan memakan setiap sekon yang terlewati. Jantung yang berdetak cepat seakan memompa darah untuk mendistribusikan rasa kesal dan kecewa di seluruh tubuh Kara.
“I don’t wanna talk with you anymore.” Satu kalimat terucap memecah sunyi.
Di seberang sana, Kara dapat mendengar Noah yang menghela napas, membuat emosinya semakin bergejolak.
“You need to grow up, Shaka.”
“You said you missed me, but what the fuck is this? You sound like you just want to blame me for every sake I did!” seru Kara, suaranya lebih lantang.
“Let’s just break up,” ucap Kara final.
Sambungan telepon diputus sepihak oleh Kara. Napasnya memburu akibat amarah yang mengebu. Kara terdiam di tempatnya berdiri, mengatur napas agar kekesalannya memudar.
Setelah merasa lebih stabil, Kara melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Memasuki pekarangan rumah dengan tatapan hampa. Rasanya seperti dijatuhkan dari gedung pencakar langit, sebagian dari dirinya hancur lebur.
Belum cukup disakiti oleh perkataan sang kekasih yang menemaninya hampir empat tahun, ia sudah ditampar kembali oleh keberadaan sosok lain di depan rumahnya.
Sosok yang paling terakhir ingin Kara temui setelah ia diterjang kesialan.
“Lu denger berapa banyak?” tanya Kara yang memantung di tempat.
Aksa terdiam sesaat sebelum menjawab, “Semuanya.”
Kesialan agaknya terlalu sering berkunjung dalam kehidupan Kara hingga ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kesialan apa lagi yang akan menimpanya setelah ini.
Entah karena dorongan dari emosi yang belum sepeunuhnya ia redam, atau dendam di masa lalu, Kara merasa kesal atas keberadaan Aksa. Ia merasa sangat memalukan dan Aksa seperti tengah menertawainya dalam diam.
“Lu gak mau ngetawain gua?” Kara kembali bertanya.
“Gua harus ketawa?”
Kara terlalu sensitif untuk mendengar semua hal yang keluar dari mulut Aksa.
“Nggak sih, dilihat dari lu sekarang di sini, kayaknya lu gak berhak buat ketawa. Bahkan mungkin hidup lu jauh lebih buruk daripada hidup gua.”
Kali ini Aksa mengernyit. Ia tampak tersinggung dengan ucapan Kara.
“Emang kenapa sama hidup gua?” tanya Aksa.
Kara melirik tumpukan rumput di sebelah Aksa. Jika Aksa hidup lebih baik darinya, Aksa tidak mungkin berada di tempat yang sama dengan Kara. Seharusnya Aksa berada di sebuah kota yang menopang karirnya dengan baik, bukan berada di tempat terpencil yang jarang diketahui orang lain.
“Apa yang lu cari di sini? Lu jauh-jauh kuliah ke luar negeri cuman buat tinggal di sini? Kalau hidup lu jauh lebih baik dari gua, lu harusnya ada di tempat yang seluruh dunia tau,” jawab Kara.
“Gua sendiri yang milih buat hidup di sini dan gua bahagia sama pilihan gua. Seenggaknya gua tau caranya buat menikmati hidup, gak kayak seseorang.” Aksa membalas ucapan Kara, tatapan matanya lurus.
Sebelum tersulut ke dalam perkelahian yang lebih sengit, Aksa mengembuskan napasnya kasar.
“Kayaknya lu butuh menjernihkan pikiran. Gua anggap kita gak pernah ketemu hari ini,” ujar Aksa sebelum beranjak pergi.