Pertemuan pada kali kedua

Netra yang terpejam perlahan terbuka tatkala telinganya menangkap sebuah kebisingan. Kakinya seakan melangkah mundur pada masa lalu, saat kekasihnya di sini, saling menghabiskan waktu di tengah derasnya hujan. Juan beranjak dengan tergesa. Ia pernah berada dalam skenario ini sebelumnya. Ketika dunianya runtuh dan tubuhnya terasa remuk, sosok yang ia cintai datang hanya sekadar membuatkannya sup hangat. Senyuman manisnya menyapa, sebelum mendekap Juan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik.

Langkah Juan terhenti pada saat netranya menangkap sosok lain. Kering melanda kerongkongan, membuat satu nama yang ingin sekali terucap hanya tertahan di ujung lidah.

Kala netra lain tak sengaja bertemu dengan netranya, Juan menahan napas. Sebelum ia tersadar, bahwa sosok yang tengah ia lihat sekarang bukanlah sosok yang memenuhi benak.

“Loh? Om yang kemarin ngasih sapu tangan?”

Semesta seolah mengajaknya bergurau. Bahkan dalam mimpi pun, Juan tidak dipertemukan oleh sosok yang begitu ia rindukan.

“Beneran Om yang kemarin.”

Juan mengejapkan mata. Ia lantas mencubit tangannya untuk memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak.

“Hallo, Om! Kenalin, gue Andrea yang kemarin ngambil sapu tangan Om.” Sosok yang menurut Juan aneh itu mengulurkan tangannya dengan senyuman lebar di wajah.

Sosok yang kemarin menangis meraung-raung seakan dunia hendak berakhir detik itu juga kini tersenyum cerah. Meninggalkan Juan dalam kesedihan yang berlarut hingga ia enggan untuk sekadar menarik bibir membentuk senyuman tipis.

“Om?” Panggilan yang terdengar menyebalkan membuat Juan berdecak.

“Jangan panggil gue Om,” tegas Juan seraya berjalan menjauh, mengabaikan uluran tangan Andrea.

“Siap, Pak!”

Langkah Juan sempat terhenti kembali sebelum ia berusaha tak mengindahkan panggilan Andrea kepadanya. Ketika Juan duduk di sofa miliknya, ia dapat melihat Andrea yang juga ikut duduk tepat di samping Juan. Tatapan sinis Juan lemparkan pada Andrea. Ia lantas menggeser tubuhnya untuk duduk lebih jauh. Namun Andrea, tak menangkap maksud Juan dan kembali ikut menggeser tubuh.

“Gue mau langsung ke intinya. Kalau lo mau tinggal di sini, ada beberapa peraturan yang harus lo lakuin.” Juan membuka suara, berusaha mangabaikan eksistensi Andrea di sampingnya.

“Pertama, gue bakal nganggap lo gak ada dan lo juga harus nganggap gue gak ada. Gue mau kita hidup masing-masing. Jangan melibatkan gue ke dalam hidup lo. Kalau bisa jangan ngajak gue ngobrol. Lo boleh nanya, tapi gue gak bakal jawab pertanyaan yang sifatnya privasi.” Melalui ekor matanya, Juan melirik Andrea yang tak bergeming di tempat.

“Kedua, jangan berisik. Gue juga gak bakal berisik, jadi gue harap lo gak berisik sampai ganggu gue. Dan jangan pernah nyalain tv.” Juan melanjutkan ucapannya.

“Ketiga, jangan pernah masuk ke dalam kamar gue,” ujar Juan final.

“Ada pertanyaan?” Hening yang melanda membuat Juan menoleh. Andrea tampak terdiam dengan wajah yang datar.

“To be honest, gue gak suka tinggal sama orang lain. Apalagi sama orang yang gak gue kenal sama sekali. Jadi kalau lo keberatan, lo bisa langsung cari tempat tinggal lain.”

Masih tak ada jawaban dari sosok di sampingnya. Entah apa yang tengah sosok itu pikirkan, Juan tidak peduli.

“Oke.” Butuh beberapa detik untuk Andrea membuka mulutnya. Sosok yang kini menatap Juan kembali menampilkan sebuah senyuman.

“Gue setuju sama semua peraturan yang lo buat,” lanjut Andrea.

Senyuman yang Juan tangkap dengan manik matanya sangat jelas terlihat dipaksakan. Namun lagi-lagi, Juan tidak peduli.