Bertemu Hantu
Menjalani hidup selama dua puluh delapan tahun, Gauri Shankara Erlangga telah melewati berbagai macam rintangan. Terkenal pemberani dan memiliki tekad yang tinggi, Kara mampu menghadapi berbagai macam kesulitan dan ketakutan yang selama ini terus mengekor dalam kehidupannya. Namun, tidak dengan makhluk tak kasat mata yang disebut sebagai hantu.
Dari sekian banyaknya hal menakutkan di dunia ini, hanya hantu yang mampu membuat tungkainya bergetar. Respon fisiologis* dari tubuhnya untuk mengeluarkan hasil metabolisme bernama urin membuatnya mau tak mau menelusuri rumah besar dengan suasana kelam. Sebuah panci yang ia pegang erat setia menemani perjalanannya menuju kamar mandi.
Pandangan matanya tajam, ia menelisik sekitar dengan seksama. Tubuhnya pun telah ia siapkan untuk mengayunkan panci sekeras mungkin andaikata sosok hantu menampakkan batang hidungnya walau mungkin sang hantu tidak berhidung.
Di tengah perjalanannya menuju kamar mandi yang berlangsung lama, Kara bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan yang mendesain rumah yang ia tempati dan menempatkan kamar mandi di bagian rumah paling belakang. Kara perlu melewati berbagai macam ruangan seraya menahan diri agar tidak mengompol di tengah jalan.
DUK
Langkah Kara terhenti seketika. Ia meneguk ludahnya dengan kasar. Panas menjulur di sekujur tubuh tatkala degup jantungnya meningkat akibat rasa takut. Setitik dorongan dalam dirinya membantu agar ia melanjutkan langkah. Kara tidak boleh berhenti di sini. Ia perlu ke kamar mandi, tak peduli apapun rintangan yang harus ia hadapi.
Tungkai yang mulai melemah berhasil melewati batas ruangan tengah dan dapur. Kamar mandi berada tepat di sebelah dapur, hanya perlu beberapa langkah lagi sebelum Kara berhasil sampai di tujuan. Embusan napas lega terdengar ketika Kara melihat pintu kamar mandi. Panci yang siap memukul hantu kini berada di samping tubuhnya.
Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu mendarat tepat di pundak kirinya. Hanya perlu waktu satu detik hingga teriakan terdengar, kemudian suara nyaring dari panci mengikuti setelahnya.
Dengan napas yang masih memburu, Kara perlahan membuka matanya. Di tengah remangnya pendar cahaya, Kara dapat melihat sosok lain yang sama-sama terkejut. Manik mata bulat milik Kara terpaku pada sosok di hadapannya. Rupa yang ia pandang tanpa berkedip, rasanya pernah ia temui.
“Samudra?”
“Santen?”
Kara mendengus kasar. Sudah lama semenjak ia mendengar panggilan menyebalkan yang keluar dari mulut sosok tersebut.
“Lu ngapain di sini?” Samudra, atau yang lebih sering dipanggil Aksa bertanya seraya mengambil panci yang tergeletak di atas lantai.
“Harusnya gua yang nanya. Lu ngapain di sini?” tanya Kara dengan kerutan tipis di kening.
“Untung gua berhasil ngehindar. Kalau nggak, ini panci udah kena muka gua,” ujar Aksa, tak menjawab pertanyaan Kara.
Kara melemparkan pandangannya asal, tak berani menatap Aksa. Merasa bersalah telah mengira Aksa sebagai hantu.
Dhanadyaksa Samudra yang Kara lihat di umur kedua puluh delapan tahun masih sama dengan sosok yang ia lihat di umur lima belas.
Masih terlihat sama-sama menyebalkan.
Note: *Fisiologis: bersifat fisiologi; berkenaan dengan fisiologi Fisiologi: cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat hidup (organ, jaringan, atau sel); ilmu faal