Jangan Sentimental, Katanya
Hidup, memang selalu dipenuhi hal-hal di luar nalar. Kejadian yang tak terduga datang tanpa permisi, layaknya hujan di tengah musim kemarau panjang. Ketika melihat sang mentari terbit pagi hari di tengah kegiatan berlarinya, Aksa seolah merasakan embusan angin berbisik padanya bahwa hari ini akan menjadi luar biasa.
Mungkin maksudnya adalah luar biasa tak terduganya. Dilempari batu sebesar kepalan tangan tepat di kening, cukup membuat darahnya bercucuran keluar.
“Cu, maafin Emak, ya.” Perkataan berulang yang keluar dari mulut wanita paruh baya membuat Aksa memaksakan diri agar terlihat baik-baik saja.
“Gak papa, Mak. Sakitnya sedikit, kok. Buktinya Aksa masih bisa lari ke klinik,” ujar Aksa berdusta.
Pandangan Aksa hampir mengabur, beruntung pintu klinik sudah berada di depan matanya. Seandainya Aksa perlu berjalan sedikit lebih jauh, mungkin ia sudah terkapar di bawah terik matahari. Tak sadarkan diri akibat lemas yang menyerang.
“Neng, tolongin ini cucu Emak.” Sosok paruh baya yang biasa dipanggil Mak Enah itu berjalan tergesa menghampiri salah satu perawat.
Aksa tersenyum simpul saat mendengar kata ‘cucu’. Ia telah dianggap cucu oleh semua nenek dan kakek di sini. Semua orang menyukainya, Aksa pun menyukainya.
“Mas Aksa!” Suara yang Aksa kenal membuatnya menoleh, manik matanya menangkap sosok perawat yang familiar dan satu sosok lainnya.
Sosok dengan jas putih yang membalut scrub biru tengah melamun dengan pandangan ke arah depan. Pandangan matanya tampak kosong dan wajahnya terlihat suram, tak menyadari keberadaan Aksa yang bersimbah darah.
“Loh, Aksa? Kamu kenapa?” Salah satu dokter senior mendatangi Aksa, menarik perhatian Kara yang sempat hanyut dalam lautan pikiran.
Netra mereka saling bersirobok untuk sesaat, sebelum Aksa memalingkan wajahnya.
“Emak gak sengaja ngelemparin batu, Dok,” Mak Enah menjawab, ekspresi wajahnya terlihat khawatir.
“Waduh,” kaget sang dokter. Ia lantas menoleh ke belakang, kemudian menyerukan satu nama, “Kara!”
“Mas, duduk dulu.” Atensi Aksa tertarik pada Laras, perawat muda yang sempat memanggilnya.
Tirai yang menjadi pembatas antara ranjang pasien di ruang tindakan ditarik. Aksa duduk di atas ranjang dengan Mak Enah yang menggenggam tangannya erat.
“Mak, Aksa gak papa. Nih, lihat, masih bisa ngedipin Emak,” guyon Aksa, berusaha mencairkan suasana.
Tampak Mak Enah menyunggingkan senyum. Aksa mengusap punggung tangan Mak Enah seraya terkikik.
“Permisi.” Sosok berjas putih yang menarik perhatian Aksa menyela.
Kara, datang dengan sebuah senyuman ramah. “Saya periksa dulu ya,” ujarnya sambil menghampiri Aksa.
Kontak mata yang terjalin membuat rasa canggung merayap dalam diri Aksa. Entah apa alasannya, Aksa tidak tahu. Mungkin karena mereka menghabiskan waktu selama tiga tahun di masa sekolah menengah atas yang jauh dari kata akur.
Kan, hidup ini memang dipenuhi hal di luar nalar. Sosok yang sering melempar berbagai macam benda ke kepala Aksa kini menjadi dokter yang mengobati luka di keningnya. Aksa bahkan masih mengingat Kara yang melempar buku ke kepalanya sembari berteriak lantang.
“Dibersihin dulu ya, lukanya. Nanti di—“ Kara melirik wanita paruh baya yang berada di samping Aksa. “Dijahit, sedikit aja kok,” lanjut Kara.
“Tuh kan, Mak. Sedikit doang,” ulang Aksa, meyakinkan Mak Enah.
Suara tirai yang dibuka terdengar. Laras muncul membawa troli instrumen. Kemudian, Kara bergegas menyiapkan alat tempurnya. Di tempatnya berada, Aksa dapat melihat perubahan ekspresi Kara yang menjadi lebih cerah.
Rasa sakit yang mulai menjalar mengalihkan fokus Aksa. Ia lantas mengajak Mak Enah mengobrol, menghabiskan waktu yang terasa lambat. Tatkala kapas dingin menempel tepat di lukanya, ringisan kecil terdengar.
Salah satu tangan Aksa menggenggam ujung ranjang dengan keras. Ia tak cukup kuat untuk menahan rasa sakit dan perih di saat yang bersamaan. Matanya tak berani menatap Kara yang berbinar menatap sebuah needle holder di tangannya.
Dalam hati, Aksa berdoa agar ia segera meminum obat pereda nyeri.
“Selesai.”
Perlu waktu yang agak lama untuk Aksa tersadar dari lamunan. Ia mengejapkan matanya, sebelum berdeham.
“Mak, ikut saya dulu, ya.” Laras berkata lembut seraya menarik Mak Enah pergi.
Aksa yang masih terdiam mengamati orang-orang di hadapannya. Manik matanya menangkap Kara yang membuka mulutnya, namun kembali ia tutup saat Laras meliriknya sekilas sebelum beranjak pergi.
Meninggalkan Aksa dan Kara yang terbuai oleh pikirannya masing-masing. Suasana aneh di antara Kara dan Laras mengingatkan Aksa kepada cerita Niko di pagi hari.
“Apa?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Kara membuat Aksa mengingatkannya pada sosok Kara yang ia kenal dulu.
“Lu kayaknya masih sama kayak dulu,” jawab Aksa.
“Lu juga masih sama kayak dulu.”
Dari cara Kara menatapnya, nada bicaranya, semuanya, masih sama. Sama-sama menyebalkan.
Tak ada yang perlu Aksa khawatirkan. Mereka tidak sedekat itu hingga Aksa harus mengkhawatirkan sosok di hadapannya.
“Laras,” panggil Aksa sebelum berjalan keluar dari klinik.
“Ya, Mas?”
Aksa terdiam untuk sesaat, menimang kata-kata yang hendak ia keluarkan.
“Tolong bilangin ke yang lain kalau Dokter Kara itu temen saya waktu SMA,” ujar Aksa dengan lidah yang sedikit kelu.
Lawan bicaranya tampak terkejut. “Iya toh, Mas? Saya gak tau!” bisik Laras.
“Kenapa Mas gak bilang dari kemarin? Saya kira Dokter Kara sebelas dua belas sama anak-anak PKL yang dulu ke sini loh! Jadi semua orang pada jaga jarak sama Dokter Kara, soalnya Mas tau sendiri kan waktu itu anak-anak PKL pada gak sopan sama warga di sini. Abisnya Dokter Kara ke sini tiba-tiba gitu loh, Mas. Yang lain kan pada ngira Dokter Kara itu dilempar dari tempat kerjanya gara-gara gak bener.” Panjang, lebar, dan cukup membuat Aksa pusing akibat Laras yang menjelaskan begitu cepat.
“Makanya sekarang harus sopan sama Dokter Kara. Dia itu kebanggaan sekolah saya dulu. Orangnya juga baik.” Aksa hampir menggigit lidahnya sendiri.
Selama mengenal Kara dalam hidupnya, Aksa tidak ingat kapan sosok itu berbuat baik padanya. Kara itu baik, kecuali pada Aksa.
“Intinya gitu. Saya mau pulang,” pamit Aksa, meninggalkan Laras yang masih memantung.
Di tengah perjalanannya keluar klinik, ia menyaksikan kembali Kara yang melamun di depan meja resepsionis. Aksa menyapa pegawai klinik dan berbisik meminta sobekan kerta kecil beserta plester. Menuliskan sesuatu di sana sebelum berjalan ke arah Kara.
Aksa diam sesaat di hadapan Kara yang kini menyadari keberadaannya.
“Apa?” tanya Kara.
Sosok yang dibalut kaus putih polos dan celana jeans mengembuskan napasnya kasar. Kepala Kara terdorong ke belakang ketika tangan Aksa menepuk keningnya agak keras.
“Jimat.”
Tanpa menjelaskan tindakan dan ucapannya, Aksa berjalan pergi. Meninggalkan Kara yang dilanda kebingungan. Ia kemudian melepas sesuatu yang terasa menempel di keningnya.
Temennya Aksa waktu sekolah, tolong ditemenin.