Terakhir

Sepasang netra sayu memandang keluar jendela. Mengamati suasana malam di tengah kerumunan kecamuk dalam pikiran melanda. Iris kecoklatannya yang meredup memerhatikan lalu lalang kendaraan secara acak.

“Jordy, lu pernah gak pengen jadi orang lain?” Bibir ranum yang sedikit pucat akhirnya terbuka untuk bersuara.

Tak ada balasan dari Jordy. Sosok manajernya itu tengah berkutat dengan panggilan alam di toilet. Embusan napas keluar dari mulut Jose. Pikirannya kembali menjelajah kesana kemari dan tak sengaja melangkah pada serangkaian memori. Jose tersenyum kecil mengingat hari-hari yang ia lewati di sebuah vila antah berantah.

“I feel so empty,” bisiknya pada diri sendiri.

“Gua kayaknya abis ini mau adopt kitten atau puppy,” lanjut Jose, masih menaruh atensinya pada lalu lalang kendaraan.

Waktu yang tersisa hari ini tinggal sedikit. Mungkin kumpulan menit akan segera mengubah arah jarum pendek jam yang menempel pada dinding. Kemudian Jose, menghabiskan sisa waktunya hari ini untuk tenggelam dalam lamunan.

Bulu mata lentik yang menghiasi wajahnya bergerak tatkala ia berkedip. Jose menggelengkan kepala, ia harus segera makan dan pulang. Tubuhnya sudah terlampau lelah dan ia sangat butuh tidur.

Jose lantas menggerakkan kepalanya untuk menatap ke depan. Napasnya tercekat ketika ia melihat sosok lain yang duduk di kursi Jordy. Sosok yang bersemayam di dalam pikirannya, yang menimbulkan rasa sakit di dada acap kali rupanya terlintas di sana.

Bahkan dalam imajinasinya, Aby terlihat begitu memukau, membuat Jose berdegup kencang hanya karena bayangannya yang terlihat begitu nyata.

Tangan kanan Jose terulur untuk menyentuh bayangan Aby. Rasanya hangat. Tatkala jemarinya berada di permukaan pipi Aby, Jose dapat merasakan kehangatan, seolah sosok hadapannya adalah sosok yang nyata.

Manik mata Jose melebar, tepat ketika tangan Aby menyentuh tangannya. Membawa telapak tangan milik Jose ke dalam kecupan.

“Aby?” panggil Jose, memastikan jika sosok di hadapannya benar-benar Aby.

“Jose.”

Suara yang Jose rindukan menggelitik masuk ke dalam telinganya. Jose beranjak berdiri. Kakinya melangkah tergesa menghampiri Aby.

“Hai,” sapa Aby dengan sebuah senyuman yang terpatri.

Sekonyong-konyong, keadaan di sekitar menjadi lebih terang. Jose menatap sekeliling, kemudian menemukan sekumpulan orang yang berjalan ke arahnya seraya membawa kue.

“Happy birthday Jose, happy birthday Jose.” Mereka bernyanyi serentak, menyadarkan Jose bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Wajah-wajah yang Jose kenal tertangkap oleh lensa matanya. Mulai dari sang ibu, Rully, Dzacky yang tidak terlalu penting, Jordy yang juga sama tidak pentingnya dengan Dzacky, Cello, hingga satu sosok yang membuat Jose berlari kencang.

“Azriel!” seru Jose begitu ia membawa Azriel ke dalam dekapan.

“Gua kangen banget sama lu, Bocil!”

“Gua juga kangen banget sama Kak Jose!”

Jose melepaskan pelukannya sembari terkekeh.

“Tiup dulu lilinnya.” Suara Rully mengalihkan atensi Jose.

Sebelum meniup lilin, kelopak matanya terpejam. Merapalkan harapan dalam hati, semoga ia akan selalu bahagia bersama orang-orang yang tengah mengelilinginya.

Tepuk tangan heboh terdengar ketika Jose berhasil meniup lilin. Senyuman lebar menghiasi wajah Jose. Lelah yang sempat menggerogoti tubuhnya hilang entah kemana.

“Ini sejak kapan kalian saling kenal?” tanya Jose pada teman-temannya dan Aby.

“Seminggu yang lalu ada kali. Gua tiba-tiba dihubungi sama fans nomor satu lu,” jawab Rully seraya menunjuk Azriel.

“Gua humasnya hehe. Kalau rencana bikin lu balik dan kesel sama Aby tuh rencananya Mami.” Kali ini giliran Azriel yang menjelaskan.

Alis Jose saling bertaut. Sejak kapan Azriel mengenal sang ibu hingga memanggilnya ‘Mami’?

“Azriel sama Mami udah kenal dari lama. Ada kali enam bulan yang lalu, ya? Jadi ibunya Gyan itu temen Mami. Terus Mami dikasih kalau mereka punya vila, yaudah Mami kirim aja kamu ke sana biar ketemu Gyan. Soalnya dari awal Mami udah suka sama Gyan. Udah sopan, baik, pinter, ganteng lagi. Udah cocok jadi calon mantu.” Sosok paling tua di sana ikut memaparkan petemuannya dengan Aby dan Azriel sesingkat mungkin.

“Jadi selama ini kalian kenal?!” Jose mencebik sembari menatap ibunya dan Aby bergantian.

Ekspresi kesal yang tercetak di wajah Jose perlahan berubah tatkala Aby berjalan mendekat. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut orang lain dapat mendengarnya. Jose kesulitan bergerak saat Aby sudah berada di depannya, mendekat lebih intim kepada Jose. Mata Jose sontak terpejam. Sekon terlewati dan tak ada yang kunjung menyentuh bibirnya.

Kelopak mata Jose kembali terbuka. Ia dapat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lehernya.

“Your birthday present,” ujar Aby.

Jose menyentuh kalung pemberian Aby. Bibirnya kembali tertarik untuk membentuk sebuah senyuman. “Thank you,” ucap Jose.

“Anytime.”

Malam ini, Aby tampak begitu memesona dengan setelan jas berwarna navy yang membalut tubuhnya. Dan Jose, dapat merasakan jantungnya menggila. Hanya dengan netra yang saling bercengkerama, rona merah menjalar di pipi Jose.

“I’m sorry. I didn’t mean to hurt you. Gua disuruh jauhin lu biar lu lupa kalau bentar lagi lu ulang tahun,” jelas Aby.

That’s okay. Walau gua galau banget karena ngerasa udah ditinggalin bahkan sebelum pacaran,” respons Jose seraya terkekeh.

“Emang kita belum pacaran?” tanya Aby, kerutan halus muncul di keningnya.

“Emang udah?” Jose balik bertanya.

Keberadaan dari sosok-sosok lain yang merasa tak dianggap satu-persatu menjauhi Aby dan Jose. Tak ingin menganggu kedua pasangan yang belum resmi menjadi sepasang kekasih.

“Kalau gitu let me ask you. Kiss me if you want me to be your boyfriend.

“That’s not even a question!” Jose mengeluarkan protes, namun ia tetap mempertahankan senyumannya.

Satu langkah hingga sepatu mereka saling bersentuhan dan satu detik hingga bibir Jose mendarat tepat di bibir Aby.

I love you,” bisik Jose setelah berhasil mengecup Aby.

“I love you more,” ucap Aby sebelum kembali menyatukan bibir mereka, membawa Jose ke dalam ciuman yang lebih dalam.