Berawal dari perkelahian
Amarah yang berkobar Juan lampiaskan pada pintu kamarnya. Manik mata yang berapi-api menelisik ruang tengah dengan seksama, mencari keberadaan biang kerok yang membuat emosinya bergejolak. Tak ada yang Juan temukan selain absensi Andrea di ruang tengah. Kepala Juan bergerak untuk memperluas pandangan. Atensinya tertarik pada sosok yang tengah berkutat di dapur.
Berada di puncak kekesalan, Juan mendengus tatkala menyadari bahwa Andrea sama sekali tidak mengindahkan keberadaannya. Tungkai kakinya melangkah untuk menghampiri Andrea. Dendam yang terkubur, kali ini Juan akan menumpahkannya pada pelaku yang membuat harinya buruk.
Sang tuan rumah berjalan di belakang Andrea untuk mengambil cangkir di rak. Setelah cangkir abu kesayangannya terambil, Juan kembali melangkah melewati Andrea yang baru saja mematikan kompor.
Bunyi tubuh yang saling bertabrakan terdengar di tengah keheningan. Juan, sengaja menyenggol Andrea sebagai pembalasan dendam. Butuh waktu beberapa detik sebelum dentingan alat makan terdengar. Andrea menyimpan sumpitnya saat berhasil mencerna perlakuan Juan padanya.
Hanya ada perasaan puas yang luar biasa ketika Juan menangkap kekosongan di wajah Andrea. Kedua netra lantas bersirobok untuk sesaat, sebelum Andrea mendekat. Menjambak rambut Juan sembari melotot tajam.
Hal yang tak Juan duga membuatnya bergerak secara impulsif. Ia membalas menjambak surai Andrea. Perkelahian berlangsung sengit, tak ada satupun dari mereka yang hendak mengalah dan menurunkan ego masing-masing. Tahap yang lebih serius terjadi, saat Andrea mendorong wajah Juan ke belakang hingga tubuh Juan ikut terdorong. Tak mau mengalah, Juan berusaha sekuat tenaga untuk membalikkan keadaan.
Menit pertama terlewati dengan pertarungan yang begitu intens. Namun, tepat pada awal menit kedua, petir menyambar tiba-tiba, menciptakan gemuruh yang keras. Dua anak Adam yang berkelahi pun terkejut, saling menarik tangan masing-masing.
Manik mata yang sama-sama membulat kembali bersirobok. Sunyi hadir sebagai penengah di antara mereka selama beberapa saat hingga tawa Andrea pecah.
“Muka lo lawak banget!” seru Andrea di tengah tawanya.
Setelah perkelahian yang mereka lewati, cukup aneh bagi Juan melihat lawannya tertawa terbahak-bahak. Namun, tak ada yang lebih aneh daripada Juan yang sama sekali tidak terganggu oleh tawa Andrea. Tubuhnya mamatung di hadapan Andrea, menyaksikan sosok yang menertawakannya tanpa berkedip.
Tawa yang mengalun memenuhi penjuru ruangan hilang dengan sekejap. Kelopak mata Andrea melebar, ia menyadari sesuatu yang janggal.
“MIE GUE!!!!!” pekik Andrea seraya berlari kencang.
Juan mengikuti Andrea di belakang. Di tempatnya berada, ia dapat melihat mie milik Andrea yang berukuran lebih besar dibandingkan sebelumnya.
“Bikin lagi aja,” ujar Juan.
“Gak. Mending gue makan aja daripada yang ini dibuang.” Dengan wajah yang masam, Andrea mengambil panci di atas kompor.
Melihat Andrea yang berjalan menuju sofa di depan televisi, Juan bergegas mengikutinya. Khawatir jika Andrea akan kembali membuat keributan.
“Gue kalau makan gak bisa kalau gak sambil nonton, kecuali kalau lo mau ngajak gue ngobrol,” jelas Andrea seraya mendudukkan diri.
Sosok yang lebih muda itu kemudian mendongak. “Lo mau?” tawar Andrea pada Juan.
Juan menatap mie rebus milik Andrea tanpa minat. Ia lantas menggeleng dan duduk di sebelah Andrea.
“Gue gak suka berbagi makanan,” jelas Juan, matanya tertuju pada layar televisi yang kini menyala.
Tentu saja Andrea tidak keberatan. Lagipula ia lebih suka menghabisi makanan miliknya sendirian.
“Ini gak ada netflix apa?“ tanya Andrea sebelum memasukkan mie ke dalam mulutnya.
“Gak ada. Gue gak suka nonton.” Juan menjawab, manik matanya kini tertuju pada panci yang berisi mie, seolah terhipnotis pada olahan tepung berwarna kuning itu.
“Payah.” Sosok di sampingnya merespons tanpa menatap Juan.
Suara pembawa acara berita terdengar, Andrea fokus pada televisi di hadapannya sembari menikmati mie rebus. Tangan kiri Andrea sibuk menekan remot, berusaha menemukan tontonan yang menarik.
Merasa terlalu sepi, Andrea menoleh pada Juan. Menangkap basah Juan yang menatap panci dengan binar pada kedua matanya. Andrea berdecih sebelum beranjak untuk mengambil sumpit lain di dapur.
“Temenin gue makan. Gue gak suka makan sendirian,” ujar Andrea begitu kembali ke tempatnya semula.
“Yaudah kalau lo maksa.” Juan mengambil sumpit dari tangan Andrea.
Satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut Juan. Meskipun makanannya terasa sedikit dingin dan lembek, ia tetap menikmatinya.
“Lo kalau makan mie suka langsung di pancinya?” tanya Juan.
Andrea mengangguk, netranya tertuju pada layar televisi. “Iya. Biar vibesnya kayak lagi di drakor,” jawabnya.
Tak ada kalimat yang terujar setelahnya. Sama dengan Andrea, Juan juga menikmati kegiatan makannya sembari menyaksikan tontonan kartun di televisi. Dua manusia yang telah melewati perkelahian sengit kini sibuk menonton Sofia the First.
Gemuruh petir mengalihkan perhatian Juan. Netranya menatap hujan lebat melalui jendela. Untuk sejenak, Juan terbuai dalam lamunan. Rangkaian memori di kepalanya terputar secara otomatis, menariknya pada kenangan yang ingin ia kubur.
Lagi-lagi ia melangkah mundur.
“Om.”
Jiwanya berada di masa lalu, berusaha menelusuri nostalgia sebanyak mungkin walau selalu berakhir pada pedih yang tak berujung.
“Pak.”
Tepukan keras pada lengan atasnya menarik paksa Juan dari lamunan. Ditatapnya Andrea dengan hampa.
“Jangan bengong mulu. Ntar kalau kesurupan gue yang repot.” Mulut ajaib Andrea membuat Juan lupa akan segala hal yang menumpuk dalam benak.
Juan sudah malas menanggapi Andrea. Ia hanya memberikan tatapan datarnya pada Andrea yang kini menyeruput kuah mie.
“By the way, bener kata Bang Angga. Lo kelihatan gak kayak orang hidup. Pucet banget. Sekali-kali berjemur kek, ketemu matahari,” celoteh Andrea yang semakin terdengar menyebalkan di telinga Juan.
“Atau kalau males ntar gue jemurin deh di jemuran pake capitan itu apa sih namanya.” Andrea menggantung ucapannya sembari berpikir keras.
“Lo mending diem sebelum gue masukin ke mesin cuci.” Perkataan Juan berhasil membuat bibir Andrea mengatup secara otomatis.
Gemercik hujan menyela kala sunyi melanda. Dua manusia yang duduk bersebelahan terdiam, larut dalam lautan pikiran masing-masing. Tak ada canggung yang hadir, keduanya saling menikmati detik yang beralih menjadi menit.
“Om.” Andrea memecah keheningan, pandangannya lurus ke depan.
“Jangan panggil gue Om.”
“Siap, Pak.”
“Gue bukan bapak lo.”
“Ya udah, iya, Bang.”
Juan menoleh dengan kerutan halus di kening, mengundang Andrea untuk ikut menoleh. Sejumput jarak yang memisahkan mereka membuat netra Juan mampu menangkap wajah Andrea secara gamblang.
“Gak mau dipanggil Bang? Terus lo maunya dipanggil apa? Sayang?” Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Andrea tak lantas membuahkan jawaban dari Juan.
Di bawah rintik hujan, keduanya bercengkrama melalui tatapan mata. Mengamati roman yang belum pernah mereka lihat dari jarak yang intim. Meski enggan untuk mengakui, Juan dalam hati berterus terang pada dirinya, bahwa Andrea memiliki rupa yang elok. Ia menangkis pandangan terhadap Andrea dengan memukul kecil bibir sosok itu.
“Lo manggil gue mau sebagus apapun jadi kedengeran jelek terus di telinga gue,” ujar Juan sembari mengalihkan tatapannya.
“SAKIT!” Andrea, di sisi lain memegangi bibirnya seraya berteriak kencang.